Gaun
putih yang kau kenakan terlihat begitu indah. Kau nampak begitu cantik dengan
riasan sederhana yang kau poles pada wajahmu. Aku tersenyum geli melihat
polahmu yang mengagumi kecantikan dirimu sendiri dalam pantulan cermin. Aku berjalan
menghampirimu. Kau berhenti melakukan aktifitas konyolmu begitu menyadari
keberadaanku. “Apa yang kau lakukan?” Tanyaku sambil menyungging senyum
untuknya.
“Bagaimana
penampilanku? Apa ada yang aneh? Ck, aku tak terbiasa dengan make-up seperti
ini? Bagaimana kalau nanti aku ditertawakan? Gaun ini juga terlalu panjang.
Kalau aku terjatuh bagaimana?”
Aku
tertawa mendengar celoteh yang terlahir dari kegugupanmu. “Kau akan terjatuh
dengan tingkahmu yang seperti itu. Cobalah untuk tenang.”
Kau
melotot lucu kearahku membuat tawaku semakin menjadi.
Kupandangi
wajahmu yang semakin membuatku gemas dengan kegelisahan yang kau pancarkan.
Kuusap rambutmu lembut. “Kau tak perlu khawatir, Elena. Semuanya akan berjalan
dengan sempurna. Kau tahu, kau adalah pengantin tercantik yang pernah aku
temui.”
“Benarkah?”
Kau tersenyum riang. Senyum yang sangat aku sukai. Senyum yang selama tiga
tahun ini membuat hatiku selalu mencipta debar. Merangkai rasa yang semakin
kuat bersarang hingga kini. Ya, rasaku masih sama seperti saat pertama aku
menyadari keberadaanmu di dunia ini.
Kau
mungkin tak sadar bahwa aku mengenalmu jauh sebelum kau mengenalku. Tapi kau
mungkin tak melupakan kali pertama kita bercakap. Di tengah ramainya café yang
menjadi tempatku menikmati detik yang begitu berharga juga tempatmu mengadu
nasib mengumpulkan recehan yang tercipta dari setiap tetes keringatmu.
* * *
Saat
itu café tidak begitu ramai, hanya segelintir pelanggan yang mampir sekedar
untuk menikmati secangkir kopi atau bertemu dengan seseorang. Kau yang saat itu
menjadi pelayan baru, menjadi pusat perhatian karna dengan tak sengaja kau
menumpahkan kopi kepada pelanggan. Kau meminta maaf berulang kali, dan kau
bermaksud untuk membersihkan kemeja pelanggan yang terkena tumpahan kopi tapi
kau malah menyenggol kopi milik pelanggan yang satunya. Aku tertawa kecil
melihat ulahmu yang teledor itu. ‘Lucu sekali’ Fikirku. Seketika itupun hatiku
telah tertawan oleh tingkah lucumu yang menggelitik hariku.
Sejak
saat itu aku menjadi sering datang ke café tempatmu bekerja. Tak seharipun
kulewatkan tanpa mengunjungi café itu. Begitu juga kau yang tak seharipun alpa
dari membuat keributan di café itu. Berkali-kali kau dimarahi oleh Bos-mu. Dan
berkali-kali pula kau meminta maaf. Aku menahan tawaku sembari memandangimu
dari tempatku duduk, tak ada sedikitpun keberanianku untuk berkenalan atau
merajut hubungan yang lebih akrab denganmu. Aku hanya bisa bertingkah seperti
pelanggan yang mampir hanya untuk menikmati secangkir kopi. Sampai suatu hari,
kau berteriak histeris saat melihatku membaca buku kumpulan puisi karya Edgar
Allan Poe yang dipinjamkan oleh temanku.
“Kau
juga suka dengan puisi-puisi Poe ?”
Aku
mengangguk dengan jiwa yang belum sepenuhnya utuh karna masih syok dengan
teriakanmu yang tiba-tiba.
Kau
terlihat bersemangat kemudian bercerita banyak tentang penyair asal Boston yang
kau banggakan itu. Dan karena itu, aku mulai menyukai Edgar Allan Poe. Karena
kau menyukainya, akupun mulai menyukainya. Juga sajak Poe menjadi benang
penghubung kita untuk mencipta hubungan yang semakin dekat. Dengan harapan baru
setiap harinya, aku melangkahkan kaki menuju tempatmu berada. Tentu saja dengan
pesanan yang selalu sama, secangkir Coffee
Latte. Sampai-sampai kau menjulukiku Mr.
Coffee Latte.
* * *
Aku
tersenyum-senyum sendiri saat mengingat pertama aku mengenalmu. Sampai
sekarangpun sikap teledormu itu tidak berubah. Aku jadi khawatir, bagaimana
jika di acara pernikahan nanti akan terjadi suatu hal yang tak diinginkan? Tapi
mungkin itu akan menjadi hal yang lucu dan tak terlupakan bila benar-benar
terjadi.
“Hey
Mr. Coffee Latte. Kenapa kau
tertawa-tawa sendiri seperti itu? Kau tidak memikirkan hal yang aneh-aneh,
bukan?” Selidikmu dengan tatapan yang membuatku semakin ingin mencubit pipimu
yang putih itu.
Aku
tersenyum sembari menatap wajah cantiknya. “Make
sure that you won’t ruin the ceremony. Hari ini adalah hari yang akan
mencipta banyak kenangan.” Ucapku.
Kau
terdiam mendengar ucapanku. Ada rasa canggung yang tiba-tiba menyelimuti
keberadaan kita. Kaupun memecahkan kecanggungan itu dengan untaian puisi Edgar
Allan Poe, yang kau petik dari sajaknya yang berjudul ‘Annabel Lee’
“In
this kingdom by the sea, a wind blew out of a cloud by night, chilling my
Annabel Lee; So that her high-born kinsman came and bore her away from me. To
shut her up in a sepulchre in this kingdom by the sea.”
Suaramu terdengar bergetar saat menyenandungkan sajak penyair yang
menghubungkan pertemuan kita itu.
Aku
menarikmu dalam pelukanku sembari berucap. “Annabel Lee-ku tidak dikurung di
taman makam. Melainkan singgah di istana kerajaan lautan dan menjadi putri yang
sangat bahagia.” Untaian puisi yang kau lantunkan mengingatkanku pada saat
kenyataan yang menyakitkan itu melanda hubungan kita.
* * *
Wajahmu
terlihat pucat. Seharianpun kau tidak bertingkah seperti biasanya. Semangatmu
seperti diserap oleh teriknya mentari siang itu. Aku mendekatimu yang tengah
membersihkan meja café. Kau membersihkan satu titik yang sama berkali-kali.
“Kau baik-baik saja?” Tanyaku yang membuat dirimu tersentak kaget. Kau
mengangguk lemah.
“Apa
ada masalah?”
Kau
diam sejenak sembari menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya. “Aku… Aku
sudah bertemu dengan ayahku.”
“Benarkah?”
Ucapku dengan nada terkejut. Kau pernah bercerita bahwa ayahmu meninggalkanmu
saat kau masih berumur 7 tahun, dan kau memperjuangkan hidupmu seorang diri.
Sedang ibumu telah meninggal 3 bulan setelah ayahmu pergi.
“Ternyata
ibuku hanya selingkuhan lelaki itu.” Ucapmu dengan nada tanpa jiwa. Aku tak
bisa membayangkan bagaimana terpukulnya kau. “Lelaki itu meninggalkan ibuku karena
dia lebih memilih keluarganya.” Kau terisak. Airmatamu jatuh terserap oleh kain
yang kau genggam erat. “Dan dia… Dia…” Isakanmu semakin menjadi. Aku menarikmu
dalam pelukanku. Membiarkan kau menumpahkan semua kepedihanmu.
Saat
itu, aku mengira bahwa kau menangis karna kau marah pada ayahmu yang
meninggalkanmu dan ibumu begitu saja. Juga kenyataan bahwa ibumu hanyalah
selingkuhan lelaki yang menjadi ayahmu. Namun, satu bulan kemudian aku baru tahu
rahasia dibalik tangisanmu yang untuk pertama kalinya kulihat itu. Rahasia yang
membuatku ikut serta dalam belenggu amarah dan kepedihan.
* * *
Acara
pernikahan berjalan lancar. Kali ini kau melakukannya dengan sangat baik. Tak
ada tanda-tanda keteledoranmu yang akan menambah ramai acara. Padahal aku
mengharapkan ada sedikit keteledoranmu yang kau tunjukkan di depan tamu, sebut
saja untuk hiburan tambahan. Membayangkannya saja bisa membuatku tertawa.
Aku
mengamatimu dari kejauhan. Kau terlihat begitu cantik dengan senyum yang
menghias wajahmu. Kau seperti tengah berbahagia. Ya, kau harus berbahagia, Annabel
Lee-ku. Jangan pernah kau biarkan rasa yang tak seharusnya ada mengusik
kebahagiaanmu.
“Bagaimana
adikmu? Cantik, bukan?” Tanya Ayahku yang tiba-tiba saja berdiri disampingku.
Aku
tersenyum sambil memandangimu yang tengah bersanding dengan lelaki yang
beberapa jam lalu menjadi pendamping hidupmu. “Tentu saja. Karena dia adalah
adikku.” Ucapku tanpa mengalihkan pandanganku padamu, adik yang sangat kucintai.
FIN
“Di
kerajaan lautan ini, angin menghembus awan, menggigilkan si Jelita Annabel
Lee-ku. Maka penjemput dari keluarga bangsawannya pun datang membawanya menjauh
dariku. Mengurungnya di taman makam di kerajaan lautan ini.”

Keren kak :)
BalasHapusMakasih 😁
Hapus