Kamis, 04 Februari 2016

Annabel Lee-Ku




Gaun putih yang kau kenakan terlihat begitu indah. Kau nampak begitu cantik dengan riasan sederhana yang kau poles pada wajahmu. Aku tersenyum geli melihat polahmu yang mengagumi kecantikan dirimu sendiri dalam pantulan cermin. Aku berjalan menghampirimu. Kau berhenti melakukan aktifitas konyolmu begitu menyadari keberadaanku. “Apa yang kau lakukan?” Tanyaku sambil menyungging senyum untuknya.

“Bagaimana penampilanku? Apa ada yang aneh? Ck, aku tak terbiasa dengan make-up seperti ini? Bagaimana kalau nanti aku ditertawakan? Gaun ini juga terlalu panjang. Kalau aku terjatuh bagaimana?”

Aku tertawa mendengar celoteh yang terlahir dari kegugupanmu. “Kau akan terjatuh dengan tingkahmu yang seperti itu. Cobalah untuk tenang.”

Kau melotot lucu kearahku membuat tawaku semakin menjadi.

Kupandangi wajahmu yang semakin membuatku gemas dengan kegelisahan yang kau pancarkan. Kuusap rambutmu lembut. “Kau tak perlu khawatir, Elena. Semuanya akan berjalan dengan sempurna. Kau tahu, kau adalah pengantin tercantik yang pernah aku temui.”

“Benarkah?” Kau tersenyum riang. Senyum yang sangat aku sukai. Senyum yang selama tiga tahun ini membuat hatiku selalu mencipta debar. Merangkai rasa yang semakin kuat bersarang hingga kini. Ya, rasaku masih sama seperti saat pertama aku menyadari keberadaanmu di dunia ini.

Kau mungkin tak sadar bahwa aku mengenalmu jauh sebelum kau mengenalku. Tapi kau mungkin tak melupakan kali pertama kita bercakap. Di tengah ramainya café yang menjadi tempatku menikmati detik yang begitu berharga juga tempatmu mengadu nasib mengumpulkan recehan yang tercipta dari setiap tetes keringatmu.


* * *

Saat itu café tidak begitu ramai, hanya segelintir pelanggan yang mampir sekedar untuk menikmati secangkir kopi atau bertemu dengan seseorang. Kau yang saat itu menjadi pelayan baru, menjadi pusat perhatian karna dengan tak sengaja kau menumpahkan kopi kepada pelanggan. Kau meminta maaf berulang kali, dan kau bermaksud untuk membersihkan kemeja pelanggan yang terkena tumpahan kopi tapi kau malah menyenggol kopi milik pelanggan yang satunya. Aku tertawa kecil melihat ulahmu yang teledor itu. ‘Lucu sekali’ Fikirku. Seketika itupun hatiku telah tertawan oleh tingkah lucumu yang menggelitik hariku.

Sejak saat itu aku menjadi sering datang ke café tempatmu bekerja. Tak seharipun kulewatkan tanpa mengunjungi café itu. Begitu juga kau yang tak seharipun alpa dari membuat keributan di café itu. Berkali-kali kau dimarahi oleh Bos-mu. Dan berkali-kali pula kau meminta maaf. Aku menahan tawaku sembari memandangimu dari tempatku duduk, tak ada sedikitpun keberanianku untuk berkenalan atau merajut hubungan yang lebih akrab denganmu. Aku hanya bisa bertingkah seperti pelanggan yang mampir hanya untuk menikmati secangkir kopi. Sampai suatu hari, kau berteriak histeris saat melihatku membaca buku kumpulan puisi karya Edgar Allan Poe yang dipinjamkan oleh temanku.

“Kau juga suka dengan puisi-puisi Poe ?”

Aku mengangguk dengan jiwa yang belum sepenuhnya utuh karna masih syok dengan teriakanmu yang tiba-tiba.

Kau terlihat bersemangat kemudian bercerita banyak tentang penyair asal Boston yang kau banggakan itu. Dan karena itu, aku mulai menyukai Edgar Allan Poe. Karena kau menyukainya, akupun mulai menyukainya. Juga sajak Poe menjadi benang penghubung kita untuk mencipta hubungan yang semakin dekat. Dengan harapan baru setiap harinya, aku melangkahkan kaki menuju tempatmu berada. Tentu saja dengan pesanan yang selalu sama, secangkir Coffee Latte. Sampai-sampai kau menjulukiku Mr. Coffee Latte.

* * *

Aku tersenyum-senyum sendiri saat mengingat pertama aku mengenalmu. Sampai sekarangpun sikap teledormu itu tidak berubah. Aku jadi khawatir, bagaimana jika di acara pernikahan nanti akan terjadi suatu hal yang tak diinginkan? Tapi mungkin itu akan menjadi hal yang lucu dan tak terlupakan bila benar-benar terjadi.

“Hey Mr. Coffee Latte. Kenapa kau tertawa-tawa sendiri seperti itu? Kau tidak memikirkan hal yang aneh-aneh, bukan?” Selidikmu dengan tatapan yang membuatku semakin ingin mencubit pipimu yang putih itu.

Aku tersenyum sembari menatap wajah cantiknya. “Make sure that you won’t ruin the ceremony. Hari ini adalah hari yang akan mencipta banyak kenangan.” Ucapku.

Kau terdiam mendengar ucapanku. Ada rasa canggung yang tiba-tiba menyelimuti keberadaan kita. Kaupun memecahkan kecanggungan itu dengan untaian puisi Edgar Allan Poe, yang kau petik dari sajaknya yang berjudul ‘Annabel Lee

In this kingdom by the sea, a wind blew out of a cloud by night, chilling my Annabel Lee; So that her high-born kinsman came and bore her away from me. To shut her up in a sepulchre in this kingdom by the sea. Suaramu terdengar bergetar saat menyenandungkan sajak penyair yang menghubungkan pertemuan kita itu.

Aku menarikmu dalam pelukanku sembari berucap. “Annabel Lee-ku tidak dikurung di taman makam. Melainkan singgah di istana kerajaan lautan dan menjadi putri yang sangat bahagia.” Untaian puisi yang kau lantunkan mengingatkanku pada saat kenyataan yang menyakitkan itu melanda hubungan kita.

* * *

Wajahmu terlihat pucat. Seharianpun kau tidak bertingkah seperti biasanya. Semangatmu seperti diserap oleh teriknya mentari siang itu. Aku mendekatimu yang tengah membersihkan meja café. Kau membersihkan satu titik yang sama berkali-kali. “Kau baik-baik saja?” Tanyaku yang membuat dirimu tersentak kaget. Kau mengangguk lemah.

“Apa ada masalah?”

Kau diam sejenak sembari menghirup nafas dalam kemudian menghembuskannya. “Aku… Aku sudah bertemu dengan ayahku.”

“Benarkah?” Ucapku dengan nada terkejut. Kau pernah bercerita bahwa ayahmu meninggalkanmu saat kau masih berumur 7 tahun, dan kau memperjuangkan hidupmu seorang diri. Sedang ibumu telah meninggal 3 bulan setelah ayahmu pergi.

“Ternyata ibuku hanya selingkuhan lelaki itu.” Ucapmu dengan nada tanpa jiwa. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terpukulnya kau. “Lelaki itu meninggalkan ibuku karena dia lebih memilih keluarganya.” Kau terisak. Airmatamu jatuh terserap oleh kain yang kau genggam erat. “Dan dia… Dia…” Isakanmu semakin menjadi. Aku menarikmu dalam pelukanku. Membiarkan kau menumpahkan semua kepedihanmu.

Saat itu, aku mengira bahwa kau menangis karna kau marah pada ayahmu yang meninggalkanmu dan ibumu begitu saja. Juga kenyataan bahwa ibumu hanyalah selingkuhan lelaki yang menjadi ayahmu. Namun, satu bulan kemudian aku baru tahu rahasia dibalik tangisanmu yang untuk pertama kalinya kulihat itu. Rahasia yang membuatku ikut serta dalam belenggu amarah dan kepedihan.

* * *

Acara pernikahan berjalan lancar. Kali ini kau melakukannya dengan sangat baik. Tak ada tanda-tanda keteledoranmu yang akan menambah ramai acara. Padahal aku mengharapkan ada sedikit keteledoranmu yang kau tunjukkan di depan tamu, sebut saja untuk hiburan tambahan. Membayangkannya saja bisa membuatku tertawa.

Aku mengamatimu dari kejauhan. Kau terlihat begitu cantik dengan senyum yang menghias wajahmu. Kau seperti tengah berbahagia. Ya, kau harus berbahagia, Annabel Lee-ku. Jangan pernah kau biarkan rasa yang tak seharusnya ada mengusik kebahagiaanmu.

“Bagaimana adikmu? Cantik, bukan?” Tanya Ayahku yang tiba-tiba saja berdiri disampingku.

Aku tersenyum sambil memandangimu yang tengah bersanding dengan lelaki yang beberapa jam lalu menjadi pendamping hidupmu. “Tentu saja. Karena dia adalah adikku.” Ucapku tanpa mengalihkan pandanganku padamu, adik yang sangat kucintai.

FIN

“Di kerajaan lautan ini, angin menghembus awan, menggigilkan si Jelita Annabel Lee-ku. Maka penjemput dari keluarga bangsawannya pun datang membawanya menjauh dariku. Mengurungnya di taman makam di kerajaan lautan ini.”

2 komentar: