Senin, 25 November 2013

Aku Mencintaimu, Sahabat



Aku mencintaimu. Kenapa kau tak sadar juga? Aku tak bisa menganggapmu hanya sebatas teman. Aku tak sanggup melihatmu bersamanya. Rasanya sakit. Seharusnya aku yang ada dipelukanmu, seharusnya aku yang selalu ada dihatimu. Karna aku selalu ada disisimu saat kau butuh, aku selalu ada untukmu saat kau terpuruk dan aku yang lebih mengerti kau dari pada dia. Kenapa masih saja kau pertahankan dia?

“Gimana menurut lo?” Rian menunjukkan penampilannya padaku. Kaos merah yang dibalut kemeja kotak-kotak, celana jins dan rambutnya yang sedikit acak-acakan membuatnya semakin terlihat keren.
Aku mengacungkan jempol sambil memperlihatkan gigiku yang berderet rapi.
Ia merapikan kembali rambutnya sambil tersenyum melihat cermin. Mungkin sambil membayangkan kencan pertamanya nanti dengan Luna. Cinta yang bersarang dihatinya selama satu tahun akhirnya terbalas juga. Hatiku semakin sakit kalau memikirkan hal itu. Tapi sebisa mungkin aku harus menyembunyikan rasa sakitku ini. Melihat Rian tersenyum seperti itu sudah lebih dari cukup bagiku.
Sudah hampir jam 7. Gue harus jemput Luna.” Celetuknya sambil melihat jam tangan yang ia pakai. “Gue pergi dulu ya, La.” Ucapnya kemudian pergi keluar kamarku setelah ber high five denganku.
Aku tersenyum memandangi kepergian Rian. Perlahan senyum itu semakin pudar. Kurasakan kesepian yang menyelimuti ruang ini. Kulihat foto yang terpajang rapi diatas meja belajarku. Terlihat kedua remaja yang tertawa bahagia sambil bertingkah konyol. Aku tersenyum kecut memandangi foto itu. Sekarang dia sudah mempunyai Luna, apa keberadaanku akan tergeser oleh sosok Luna? Jika aku mengatakan perasaanku sebelum dia bertemu dengan Luna, Apa dia juga akan membalas perasaanku? Aku sudah bersamanya sejak 10 tahun yang lalu saat aku berumur 7 tahun. Dia adalah teman masa kecilku. Dia juga tinggal satu rumah denganku karna 10 tahun yang lalu orangtua Rian meninggal dunia karna kecelakaan. Dan Ibuku yang juga teman akrab dari Ibu Rian menariknya untuk tinggal dirumah kami.

* * *

Sudah satu bulan hubungan antara Rian dan Luna terjalin. Mereka selalu bersama dan semakin mesra. Sedangkan hubunganku dengan Rian terlihat semakin renggang dan jarang sekali waktu untuk kita bersama seperti dulu. Kesepian. Itulah yang kurasakan saat ini. Mungkin lebih dari itu. Rasanya sakit sekali saat melihat orang yang dicintai bersama dengan orang lain. Tapi aku bisa apa? Apa aku harus mencegahnya? Apa aku harus merenggut kebahagiaan mereka berdua demi keegoisanku? Sekarang aku mengerti sepatah kata yang sering orang ucapkan. Cinta adalah pengorbanan. Bila pengorbanan itu berarti membuat orang yang kita cintai bahagia, mengapa tidak? Walaupun pengorbanan itu dapat membunuh kita.
Suasana malam yang ramaipun terlihat sepi buatku. Puluhan mobil yang berlalu lalang tak mampu meramaikan hatiku yang terlanjur sepi. Aku bersandar pada tiang di pinggir jalan sambil menghela nafas panjang. Rasa-rasanya aku telah kehilangan sosok sahabat sekaligus orang yang kucintai. Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Apa yang kupikirkan? Kenapa aku jadi seperti ini? Sudahlah, semua ini demi kebahagiaan Rian. Akupun harus bahagia.
Aku melihat sekeliling mencoba mencari hal yang dapat mengalihkan perhatianku. Aku mengerutkan kening begitu mendapati sosok yang aku kenal tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengerjapkan mataku mencoba untuk meyakinkan bahwa yang kulihat memang dia. Luna? Dengan siapa dia? Mengapa terlihat mesra sekali? Yang jelas lelaki itu bukan Rian. Begitu banyak pertanyaan yang terlintas di otakku. Tanpa banyak kata kuhampiri Luna dengan amarah yang menggebu.
“Oh, jadi begini kelakuan lo dibelakang Rian?” Tandasku dengan nada yang menekan.
Luna terlihat kaget dengan kedatanganku.
“Gak gue sangka ya, Luna yang kalem, cantik, anggun ternyata punya sifat serigala.” Aku sudah tak bisa menahan amarahku.
“Rian? Siapa Rian?” Lelaki yang ada disampingnya itu sepertinya tidak tahu kalau dia itu cuma selingkuhan Luna.
“Bukan siapa-siapa kok, Sayang. Mungkin mbak ini salah orang.” Luna menjelaskan kepada lelaki itu yang membuat mulutku ternganga tak percaya. “Maaf ya mbak, mbak salah orang. Saya tidak kenal mbak dan emm.. Rian.” Ucapnya kemudian pergi sambil menggandeng tangan lelaki itu.
Tak bisa kubiarkan. Kutahan lengannya dan kutampar dengan sekuat tenaga pipinya yang putih itu sehingga berubah menjadi merah. Terlihat jelas wajah kesakitan terpampang dimukanya. Lelaki yang bisa disebut sebagai selingkuhannya itu ingin membalasku dengan caciannya tapi ditahan oleh Luna.
“Ini gak seberapa dibanding rasa sakit yang akan Rian rasain gara-gara ulah lo, dan jangan pernah deketin Rian lagi.” Perkataanku menutup pertemuan malam itu.

* * *

“LALA!!! Apa yang lo lakuin sama Luna? Kenapa lo nampar dia?” Bentakan Rian menggema dalam ruang kelas membuat siswa yang ada didalamnya kaget sekaligus penasaran dengan apa yang terjadi.
Aku menggandeng kasar tangan Rian menuju tempat yang sepi agar tak didengarkan oleh anak-anak yang lain. “Lo apa-apaan sih, Yan?”
“Justru gue yang mesti tanya ke lo, kenapa lo nampar Luna tadi malam?”
“Lo tahu dari mana?”
“Itu gak penting.”
“Terus lo nyalahin gue? Lo tahu gak sih yang udah terjadi? Dia itu selingkuh di belakang lo Rian.”
“Lo tu salah paham. Dia bukan selingkuhannya Luna, dia itu sepupunya Luna. Luna udah ngejelasin semuanya ke gue. Seharusnya lo tuh cari kebenarannya dulu dong sebelum bertindak kayak gini.”
Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan Rian. Sepertinya Luna telah berhasil membalikkan fakta. “Luna bohong. Lo mesti percaya sama gue, Yan. Dia itu bohong.”
“Udahlah, lo nggak usah lagi ikut campur urusan gue sama Luna.”
“Apa? Jadi lo lebih percaya Luna dari pada gue, sahabat lo? Yan, lo nyadar gak sih? Lo sudah dipermainin sama Luna.”
“Jangan pernah ngejelek-jelekin cewek gue didepan gue.” Tatapan Rian tajam mengarah padaku.
“Emangnya kenapa? Kenyataannya emang kayak gitu kok.” Aku mencoba melawan.
“Sekali lagi lo jelek-jelekin dia, persahabatan kita putus.”
Aku tertegun mendengar perkataan Rian barusan. “Jadi lo mau mutusin persahabatan kita cuma karna cewek serigala itu?” Kebencianku kepada Luna semakin menjadi-jadi.
“Cukup! Persahabatan kita putus.”
“Oke. Kalo itu memang mau lo. Jangan pernah nyesel.”
“Gak akan.” Tegas Rian kemudian pergi meninggalkanku yang masih mematung. Aku tak percaya Rian akan melontarkan kata itu di depanku. Tak terasa tetesan bening membasahi pipiku disertai dengan cairan merah yang keluar dari hidungku. Darah? Kenapa? Segera ku berlari ke toilet dan membersihkan darah yang mengalir dari hidungku. Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing. Ada apa ini? Apa yang terjadi denganku? Kupejamkan mataku untuk meredamkan rasa sakit ini. Hilang. Tadi itu apa?

* * *

“Mah, Rian kemana?” Tanyaku pada Mama yang sedang menyiapkan sarapan.
“Rian sekarang ngontrak sendiri. Kemarin siang baru ngomong sama mamah, katanya sih dia mau belajar mandiri. Memangnya dia nggak ngomong sama kamu?” Mama masih sibuk menyiapkan sarapan.
Rian pergi dari rumah ini? Apa karna dia marah padaku? Akh, sakit di kepalaku muncul kembali. Dan kali ini terasa lebih sakit dari kemarin. Tiba-tiba saja kurasakan disekelilingku gelap. Bruk!!!
“LALA!?”

* * *

1 Tahun Kemudian
Sudah menjadi hal yang rutin bagi Rian jika setiap pagi dia selalu mampir kerumah yang pernah ia singgahi bersama Lala dan keluarganya itu. Berharap Lala akan keluar dari pintu dan menyambutnya dengan hangat. Pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta maaf pada Lala karna hal terakhir yang ia ucapkan adalah saat pertengkaran satu tahun yang lalu. Kemudian dia akan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam dan baru ia sadari keberadaannya.
Seminggu setelah pertengkaran mereka, Lala dan keluarganya pindah. Rianpun baru mengetahui tiga hari setelahnya. Menyesal sekali ia membiarkan sahabatnya pergi begitu saja tanpa ada ucapan selamat tinggal, karna saat itu mereka sedang bertengkar. Terlebih dia tidak tahu dimana alamat barunya. Tanya pada tetanggapun tak tahu. Yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah menunggu. Entah sampai kapan.
Ia mengamati sekeliling, memutar kembali kenangan yang terletak di setiap sudut rumah. Tapi sepertinya ada yang ganjil dengan pemandangan rumah ini. Tapi apa? Rian mencoba mencari tahu apa yang mengganjal hatinya. Rumah ini... terlihat lebih bersih. Bagaimana bisa? Padahal selama ini tak ada yang menghuni ataupun membersihkan rumah ini.
‘Kriieeet’ Terdengar pintu depan terbuka. Sontak Rian kaget. Ia tunggu siapa yang akan keluar dari pintu itu. Apakah Lala?
“Tante?” Rian setengah tak percaya bahwa dibalik pintu itu adalah Ibu Lala. ‘Apakah Lala sudah pulang?’ Pikir Rian girang.
“Rian?” Wanita setengah baya itupun kaget melihat wajah Rian. Rian yang merasa sangat senang langsung menghampiri dan memeluk tubuh wanita yang sudah dianggapnya Ibu itu.
“Tante kemana saja? Rian kangen sama tante.” Ucap Rian
“Tante juga kangen sama Rian.” Wanita itu tersenyum simpul.
Rianpun melepaskan pelukannya. “Lala dimana, tante?” Tanyanya.
Seketika wajah wanita itu menjadi murung. Seperti melukiskan sesuatu yang buruk tengah terjadi.
“Tante?”
“Ikut tante. Ada yang ingin tante tunjukan ke kamu.” Ucap wanita itu kemudian berjalan entah kemana.

* * *

Gundukan-gundukan tanah terjejer rapi terselimuti rerumputan hijau. Terdapat batu-batu nisan yang menjadi batas antara pemilik satu dan lainnya.
‘Kuburan? Kenapa tante mengajakku ke tempat ini?’ Pikir Rian. Pikirannya sudah membayangkan hal buruk yang terjadi.
Langkah wanita yang juga Ibu dari Lala itu berhenti di depan suatu nisan.
Rian mengerjap-ngerjapkan matanya membaca nama yang terdapat di batu nisan itu. ‘Tidak!!! Ini bohong kan? Tidak mungkin!!!’ Rian menoleh tak percaya pada wanita yang berdiri disampingnya.
Wanita itupun berjongkok sambil mengelus batu nisan itu. “Satu hari setelah kamu pergi dari rumah, Lala pingsan.” Wanita itu memulai ceritanya. “Setelah diperiksakan ke dokter, dokter memvonis bahwa Lala menderita kanker otak stadium 4, dan dokter bilang bahwa hidup Lala tak lama lagi.” Airmata wanita itu mulai mengalir. “Dan kami memutuskan untuk membawanya ke Singapura untuk berobat. Awalnya tante mau menceritakan hal ini ke kamu, tapi Lala mencegahnya. Dia tidak ingin kamu tahu tentang penyakitnya. Dia sangat mencintaimu Rian, dan dia tidak ingin membuatmu sedih karna dia.” Wanita itu menghembuskan nafas panjang. “Seminggu yang lalu adalah tepat dimana dia harus meninggalkan kita untuk selamanya.” Isakan tangis wanita itu terdengar menyesakkan hati.
Butir demi butir airmata menetes membasahi pipi Rian. Kakinya bergetar dan memaksanya untuk terjatuh. “Kenapa lo mesti pergi secepat ini La? Kenapa lo ninggalin gue?” Rian masih saja terisak sambil meracau kata-kata yang tak jelas. Penyesalan? Pastinya. Karna kalimat terakhir yang ia lontarkan ke Lala adalah saat ia memutuskan hubungan persahabatan yang telah lama mereka bina hanya karna seorang wanita. Kehilangan? Tentu saja. Bagaimana tidak? Karna dia telah kehilangan sosok sahabat yang sangat ia sayangi dan juga ia cintai. Ya, Rian baru menyadari perasaan itu saat ia telah benar-benar kehilangan sosok Lala.

E N D

Hanna J
Jakarta, 25 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar