Aku mencintaimu. Kenapa kau tak sadar juga? Aku tak bisa menganggapmu hanya sebatas teman.
Aku tak sanggup melihatmu bersamanya. Rasanya sakit. Seharusnya aku yang ada
dipelukanmu, seharusnya aku yang selalu ada dihatimu. Karna aku selalu ada
disisimu saat kau butuh, aku selalu ada untukmu saat kau terpuruk dan aku yang
lebih mengerti kau dari pada dia. Kenapa masih saja kau pertahankan dia?
“Gimana menurut lo?” Rian menunjukkan penampilannya padaku.
Kaos merah yang dibalut kemeja kotak-kotak, celana jins dan rambutnya yang
sedikit acak-acakan membuatnya semakin terlihat keren.
Aku mengacungkan jempol sambil memperlihatkan gigiku yang
berderet rapi.
Ia merapikan kembali rambutnya sambil tersenyum melihat
cermin. Mungkin sambil membayangkan kencan pertamanya nanti dengan Luna. Cinta
yang bersarang dihatinya selama satu tahun akhirnya terbalas juga. Hatiku
semakin sakit kalau memikirkan hal itu. Tapi sebisa mungkin aku harus
menyembunyikan rasa sakitku ini. Melihat Rian tersenyum seperti itu sudah lebih dari
cukup bagiku.
“Sudah hampir jam 7. Gue harus jemput Luna.” Celetuknya sambil melihat jam
tangan yang ia pakai. “Gue pergi dulu ya, La.” Ucapnya kemudian pergi keluar kamarku setelah ber high five denganku.
Aku tersenyum memandangi kepergian Rian. Perlahan senyum
itu semakin pudar. Kurasakan kesepian yang menyelimuti ruang ini. Kulihat foto
yang terpajang rapi diatas meja belajarku. Terlihat kedua remaja yang tertawa
bahagia sambil bertingkah konyol. Aku tersenyum kecut memandangi foto itu.
Sekarang dia sudah mempunyai Luna, apa keberadaanku akan tergeser oleh sosok
Luna? Jika aku mengatakan perasaanku sebelum dia bertemu dengan Luna, Apa dia
juga akan membalas perasaanku? Aku sudah bersamanya sejak 10 tahun yang lalu
saat aku berumur 7 tahun. Dia adalah teman masa kecilku. Dia juga tinggal satu
rumah denganku karna 10 tahun yang lalu orangtua Rian meninggal dunia karna
kecelakaan. Dan Ibuku yang juga teman akrab dari Ibu Rian menariknya untuk
tinggal dirumah kami.
*
* *
Sudah
satu bulan hubungan antara Rian dan Luna terjalin. Mereka selalu bersama dan semakin mesra. Sedangkan
hubunganku dengan Rian terlihat semakin renggang dan jarang sekali waktu untuk
kita bersama seperti dulu. Kesepian. Itulah yang kurasakan saat ini. Mungkin
lebih dari itu. Rasanya sakit sekali saat melihat orang yang dicintai bersama dengan orang lain. Tapi aku bisa apa? Apa
aku harus mencegahnya? Apa aku harus merenggut kebahagiaan mereka berdua demi
keegoisanku? Sekarang aku mengerti sepatah kata yang sering orang ucapkan.
Cinta adalah pengorbanan. Bila pengorbanan itu berarti membuat orang yang kita
cintai bahagia, mengapa tidak? Walaupun pengorbanan itu dapat membunuh kita.
Suasana malam yang ramaipun terlihat sepi buatku. Puluhan
mobil yang berlalu lalang tak mampu meramaikan hatiku yang terlanjur sepi. Aku
bersandar pada tiang di pinggir jalan sambil menghela nafas panjang.
Rasa-rasanya aku telah kehilangan sosok sahabat sekaligus orang yang kucintai.
Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Apa yang kupikirkan? Kenapa aku jadi
seperti ini? Sudahlah, semua ini demi kebahagiaan Rian. Akupun harus bahagia.
Aku melihat sekeliling mencoba mencari hal yang dapat
mengalihkan perhatianku. Aku mengerutkan kening begitu mendapati sosok yang aku
kenal tak jauh dari tempatku berdiri. Aku mengerjapkan mataku mencoba untuk
meyakinkan bahwa yang kulihat memang dia. Luna? Dengan siapa dia? Mengapa
terlihat mesra sekali? Yang jelas lelaki itu bukan Rian. Begitu banyak
pertanyaan yang terlintas di otakku. Tanpa banyak kata kuhampiri Luna dengan
amarah yang menggebu.
“Oh, jadi begini kelakuan lo dibelakang Rian?” Tandasku
dengan nada yang menekan.
Luna terlihat kaget dengan kedatanganku.
“Gak gue sangka ya, Luna yang kalem, cantik, anggun
ternyata punya sifat serigala.” Aku sudah tak bisa menahan amarahku.
“Rian? Siapa Rian?” Lelaki yang ada disampingnya itu
sepertinya tidak tahu kalau dia itu cuma selingkuhan Luna.
“Bukan siapa-siapa kok, Sayang. Mungkin mbak ini salah orang.” Luna menjelaskan kepada
lelaki itu yang membuat mulutku ternganga tak percaya. “Maaf ya mbak, mbak
salah orang. Saya tidak kenal mbak dan emm.. Rian.” Ucapnya kemudian pergi
sambil menggandeng tangan lelaki itu.
Tak bisa kubiarkan. Kutahan lengannya dan kutampar dengan
sekuat tenaga pipinya yang putih itu sehingga berubah menjadi merah. Terlihat
jelas wajah kesakitan terpampang dimukanya. Lelaki yang bisa disebut sebagai
selingkuhannya itu ingin membalasku dengan caciannya tapi ditahan oleh Luna.
“Ini gak seberapa dibanding rasa sakit yang akan Rian
rasain gara-gara ulah lo, dan jangan pernah deketin Rian lagi.” Perkataanku
menutup pertemuan malam itu.
*
* *
“LALA!!! Apa yang lo lakuin sama Luna? Kenapa lo nampar dia?” Bentakan Rian menggema
dalam ruang kelas membuat siswa yang ada didalamnya kaget sekaligus penasaran
dengan apa yang terjadi.
Aku menggandeng kasar tangan Rian menuju tempat yang sepi
agar tak didengarkan oleh anak-anak yang lain. “Lo apa-apaan sih, Yan?”
“Justru gue yang mesti tanya ke lo, kenapa lo nampar Luna
tadi malam?”
“Lo tahu dari mana?”
“Itu gak penting.”
“Terus lo nyalahin gue? Lo tahu gak sih yang udah
terjadi? Dia itu selingkuh di belakang lo Rian.”
“Lo tu salah paham. Dia bukan selingkuhannya Luna, dia
itu sepupunya Luna. Luna udah ngejelasin semuanya ke gue. Seharusnya lo tuh cari kebenarannya dulu dong sebelum bertindak kayak
gini.”
Aku tak percaya dengan apa yang dikatakan Rian.
Sepertinya Luna telah berhasil membalikkan fakta. “Luna bohong. Lo mesti percaya sama gue, Yan. Dia itu bohong.”
“Udahlah, lo nggak usah lagi ikut campur urusan gue sama Luna.”
“Apa? Jadi lo lebih percaya Luna dari pada gue, sahabat
lo? Yan, lo nyadar gak sih? Lo sudah dipermainin sama Luna.”
“Jangan pernah ngejelek-jelekin cewek gue didepan gue.”
Tatapan Rian tajam mengarah padaku.
“Emangnya kenapa? Kenyataannya emang kayak gitu kok.” Aku
mencoba melawan.
“Sekali lagi lo jelek-jelekin dia, persahabatan kita
putus.”
Aku tertegun mendengar perkataan Rian barusan. “Jadi lo
mau mutusin persahabatan kita cuma karna cewek serigala itu?” Kebencianku kepada Luna semakin menjadi-jadi.
“Cukup! Persahabatan kita putus.”
“Oke. Kalo itu memang mau lo. Jangan pernah nyesel.”
“Gak akan.” Tegas Rian kemudian pergi meninggalkanku yang
masih mematung. Aku tak percaya Rian akan melontarkan kata itu di depanku. Tak
terasa tetesan bening membasahi pipiku disertai dengan cairan merah yang keluar
dari hidungku. Darah? Kenapa? Segera ku berlari ke toilet dan membersihkan
darah yang mengalir dari hidungku. Tiba-tiba saja kepalaku merasa pusing. Ada
apa ini? Apa yang terjadi denganku? Kupejamkan mataku untuk meredamkan rasa
sakit ini. Hilang. Tadi itu apa?
*
* *
“Mah, Rian kemana?” Tanyaku pada Mama yang sedang
menyiapkan sarapan.
“Rian sekarang ngontrak sendiri. Kemarin siang baru
ngomong sama mamah, katanya sih dia mau belajar mandiri. Memangnya dia nggak ngomong sama kamu?” Mama masih sibuk menyiapkan sarapan.
Rian pergi dari rumah ini? Apa karna dia marah padaku?
Akh, sakit di kepalaku muncul kembali. Dan kali ini terasa lebih sakit dari
kemarin. Tiba-tiba saja kurasakan disekelilingku gelap. Bruk!!!
“LALA!?”
*
* *
1 Tahun Kemudian
Sudah menjadi hal yang rutin bagi Rian jika setiap pagi
dia selalu mampir kerumah yang pernah ia singgahi bersama Lala dan keluarganya
itu. Berharap Lala akan keluar dari pintu dan menyambutnya dengan hangat.
Pertama yang ingin dia lakukan adalah meminta maaf pada Lala karna hal terakhir
yang ia ucapkan adalah saat pertengkaran satu tahun yang lalu. Kemudian dia
akan mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam dan baru ia sadari
keberadaannya.
Seminggu setelah pertengkaran mereka, Lala dan
keluarganya pindah. Rianpun baru mengetahui tiga hari setelahnya. Menyesal
sekali ia membiarkan sahabatnya pergi begitu saja tanpa ada ucapan selamat
tinggal, karna saat itu mereka sedang bertengkar. Terlebih dia tidak tahu
dimana alamat barunya. Tanya pada tetanggapun tak tahu. Yang bisa dia lakukan
sekarang hanyalah menunggu. Entah sampai kapan.
Ia mengamati sekeliling, memutar kembali kenangan yang
terletak di setiap sudut rumah. Tapi sepertinya ada yang ganjil dengan
pemandangan rumah ini. Tapi apa? Rian mencoba mencari tahu apa yang mengganjal
hatinya. Rumah ini... terlihat lebih bersih. Bagaimana bisa? Padahal selama ini
tak ada yang menghuni ataupun membersihkan rumah ini.
‘Kriieeet’ Terdengar pintu depan terbuka. Sontak Rian
kaget. Ia tunggu siapa yang akan keluar dari pintu itu. Apakah Lala?
“Tante?” Rian setengah tak percaya bahwa dibalik pintu
itu adalah Ibu Lala. ‘Apakah Lala sudah pulang?’ Pikir Rian girang.
“Rian?” Wanita setengah baya itupun kaget melihat wajah
Rian. Rian yang merasa sangat senang langsung menghampiri dan memeluk tubuh
wanita yang sudah dianggapnya Ibu itu.
“Tante kemana saja? Rian kangen sama tante.” Ucap Rian
“Tante juga kangen sama Rian.” Wanita itu tersenyum simpul.
Rianpun melepaskan pelukannya. “Lala dimana, tante?” Tanyanya.
Seketika wajah wanita itu menjadi murung. Seperti melukiskan
sesuatu yang buruk tengah terjadi.
“Tante?”
“Ikut tante. Ada yang ingin tante tunjukan ke kamu.” Ucap wanita itu kemudian berjalan entah
kemana.
*
* *
Gundukan-gundukan tanah terjejer rapi terselimuti
rerumputan hijau. Terdapat batu-batu nisan yang menjadi batas antara pemilik
satu dan lainnya.
‘Kuburan? Kenapa tante mengajakku ke tempat ini?’ Pikir
Rian. Pikirannya sudah membayangkan hal buruk yang terjadi.
Langkah wanita yang juga Ibu dari Lala itu berhenti di
depan suatu nisan.
Rian mengerjap-ngerjapkan matanya membaca nama yang
terdapat di batu nisan itu. ‘Tidak!!! Ini bohong kan? Tidak mungkin!!!’ Rian
menoleh tak percaya pada wanita yang berdiri disampingnya.
Wanita itupun berjongkok sambil mengelus batu nisan itu.
“Satu hari setelah kamu pergi dari rumah, Lala pingsan.” Wanita itu memulai
ceritanya. “Setelah diperiksakan ke dokter, dokter memvonis bahwa Lala
menderita kanker otak stadium 4, dan dokter bilang bahwa hidup Lala tak lama
lagi.” Airmata wanita itu mulai mengalir. “Dan kami memutuskan untuk membawanya
ke Singapura untuk berobat. Awalnya tante mau menceritakan hal
ini ke kamu, tapi Lala
mencegahnya. Dia tidak ingin kamu tahu tentang penyakitnya. Dia sangat
mencintaimu Rian, dan dia tidak ingin membuatmu sedih karna dia.” Wanita itu
menghembuskan nafas panjang. “Seminggu yang lalu adalah tepat dimana dia harus
meninggalkan kita untuk selamanya.” Isakan tangis wanita itu terdengar
menyesakkan hati.
Butir demi butir airmata menetes membasahi pipi Rian.
Kakinya bergetar dan memaksanya untuk terjatuh. “Kenapa lo mesti pergi secepat
ini La? Kenapa lo ninggalin gue?” Rian masih saja terisak sambil meracau
kata-kata yang tak jelas. Penyesalan? Pastinya. Karna kalimat terakhir yang ia
lontarkan ke Lala adalah saat ia memutuskan hubungan persahabatan yang telah lama
mereka bina hanya karna seorang wanita. Kehilangan? Tentu saja. Bagaimana
tidak? Karna dia telah kehilangan sosok sahabat yang sangat ia sayangi dan juga
ia cintai. Ya, Rian baru
menyadari perasaan itu saat ia telah benar-benar kehilangan sosok Lala.
E N
D
Hanna J
Jakarta, 25 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar