Kamis, 15 Mei 2014

Sebuah Janji



Senja di ufuk barat memancarkan corak indah pada kilau langit. Menghantarkan senandung-senandung merdu dalam setiap hembusan angin. Nada-nada gemulai yang diciptakan oleh dawai syahdu mampu menghangatkan jiwa. Namun tidak bagi dua anak kecil yang sedang duduk menikmati senja dengan wajah sendunya.

“Apa kau akan melupakanku?” Tanya seorang anak perempuan cantik berumur 7 tahun.


“Tidak akan. Kita akan selalu bersama. Walaupun sekarang aku akan pergi tapi kita akan bertemu lagi saat kita sudah besar nanti.” Jawab anak laki-laki yang duduk disampingnya.

“Benar?”

“Iya.”

“Janji?” Ucap anak perempuan yang kemudian menunjukkan kelingkingnya.

“Janji.” Timpal anak laki-laki sambil menautkan jari kelingkingnya.

* * *

Sepuluh tahun telah berlalu. Namun senja masih tetap menyisakan kepedihan akan kehilangan separuh jiwa yang mengisi kekosongan hati. Begitupun diriku yang selalu menghabiskan senja dalam kemelut kerinduan yang menyesakkan jiwa. Yang kulakukan hanya menunggu dengan ditemani oleh senja yang mulai pudar. Berharap dia akan datang, berharap dia akan menepati janjinya. “Kapan kau kembali, Farel? Aku menunggumu dan terus menunggumu. Apakah kau disana memikirkanku? Apa kau mengingat janji kita? Apa perasaanmu masih tetap sama seperti saat terakhir kali kita berjumpa?” Aku terus bertanya-tanya akan dirinya. Aku takut bila dia akan melupakanku, lupa pada janji yang telah kita ikrarkan.

Langit senja semakin meredup. Menggantikan warna jingga menjadi hitam kelam. Menampakkan kilau intan yang bertebaran di langit. Ditemani kilau indah rembulan yang menerangi malam. Kupejamkan mataku tuk rasakan keindahan malam. Kubiarkan angin memainkan serta helai rambutku. Kubisikkan kata-kata pada lembut sentuhannya, memintanya tuk sampaikan rinduku pada pujaan hati yang ciptakan gelisah dalam jiwa. “Aku merindukanmu, Farel. Cepatlah kembali.”

* * *

Sang mentari merekah dengan indahnya di ujung timur sana. Menyisakan embun pagi yang mencerminkan kelembutan. Terhembus angin sejuk, mendamaikan kalbu. Namun, tak ada waktu bagiku untuk menikmati keindahan pagi. Aku berlari dengan nafas tersengal. Mengejar waktu yang tak ingin berhenti barang sejenak. Jarum jam begitu cepat mengarah ke angka 7. Membuatku semakin cepat berlari. Suara nyaring bel berbunyi tepat saat ku memasuki gerbang sekolah yang dimana aku tercantum di dalamnya. Tak kupedulikan satpam yang meneriakiku. Aku terus berlari, berharap guru Fisika ku belum memasuki kelas. Aku terus berlari dan... 

‘Bruakkk!!!’ Aku menabrak seseorang dan terjatuh, begitupun orang yang menabrakku. Buku-buku yang ia bawa berserakan di lantai. Kubantu ia memungutinya sembari meminta maaf.

“Tidak apa-apa.” Laki-laki itu tersenyum sambil mengambil kembali bukunya yang kusodorkan.

Ada satu benda yang menyita perhatianku saat melihat laki-laki itu. Seperti benda yang tak asing bagiku. Sebelumnya aku pernah melihat kalung berbentuk keris yang dipakai laki-laki itu. Tapi... Dimana? Dimana aku melihatnya? Seperti deja vu saja. Aku terus memikirkan hal itu sehingga lupa akan keterlambatanku. Aku terus mencari namun tak menemukan jawabannya. Hingga ku tersadar dan menemukan laki-laki tadi sudah tidak ada dihadapanku. Sontak aku terlonjak saat mengingat akan keterlambatanku. Kembali ku berlari menuju kelasku, dan waktu yang berjalan semakin meyakinkanku bahwa aku benar-benar terlambat.

Benar saja. Saat aku memasuki kelas, disana sudah ada seorang wanita setengah baya dengan gayanya yang kasual, berdiri di depan menerangkan tentang Hukum Archimedes yang ditemukan oleh ilmuwan Yunani. Untung saja beliau baik, mengizinkanku memasuki kelasnya walaupun terlambat. Namun, itu tidak menjadi masalahku sekarang. Yang jadi masalahku adalah lelaki yang duduk disamping bangkuku. Bukankah dia lelaki yang kutabrak tadi? Kenapa dia ada di kelasku? Dan kenapa dia duduk disamping bangkuku?

Guru Fisika yang dikenal dengan nama Helda, menerangkan dengan seksama tentang hukum Archimedes. Kusimpan dulu pertanyaan-pertanyaanku tentang lelaki disampingku ini. Kufokuskan pandanganku pada garis-garis yang diciptakan oleh tangan gesit Bu Helda. Mengolah otak dengan penerangan-penerangan yang dijelaskan oleh guru lihai itu. Namun, perhatianku tak bisa sepenuhnya mengarah pada rumus-rumus yang sedang Bu Helda terangkan. Kulirik lelaki disampingku. Bukan tertarik atau apa, hanya penasaran saja. Tanpa kuduga, lelaki itu juga sedang menoleh kearahku. Segera kualihkan pandanganku ke depan.

“Hai.” Sapanya dengan nada berbisik, menjaga agar tak terdengar oleh Bu Helda.

Aku menoleh dan tersenyum canggung padanya. “Hai.”

“Kita bertemu lagi.” Ucapnya.

“Ya.” Jawabku singkat, tak tahu apa yang harus kukatakan karna terlanjur malu ketahuan melirik diam-diam.

“Kenalkan. Namaku Farel.”

‘Farel?’ Jantungku berdebar mendengar nama itu.

“Kamu?” Tanyanya membuyarkanku yang sempat mematung.

“Marsha.” Ucapku sembari membalas jabatan tangannya.

“Senang berkenalan denganmu. Kuharap kita bisa berteman baik.” Ucapnya.

Aku hanya bisa mengangguk sembari tersenyum.

Begitulah pertemuan singkat kami. Kami berduapun kembali fokus pada penjelasan Bu Helda yang membuat perut mual karna rumus-rumusnya.

* * *

“Jadi kamu pindahan dari Bandung?” Tanyaku saat Farel menceritakan tentang dirinya di taman sekolah.

“Ya. Dulunya aku memang tinggal di Jakarta, tapi waktu aku berumur 7 tahun, orangtuaku mengajakku pindah.” Lagi-lagi latar belakang dia mirip Farel yang aku tunggu. Tapi... Apa mungkin dia memang Farel? Kalau dia Farel, dia pasti sudah mengenaliku.

“Mmm... Kalung kamu bagus.” Ucapku sambil mengarahkan pandangan pada kalung yang dipakainya. Kalung yang pernah aku lihat sebelumnya, tapi aku tidak ingat dimana.

“Oh ini. Kalung ini pemberian almarhum kakekku. Dia meninggal saat aku berusia 7 tahun. 5 bulan sebelum aku pergi ke Bandung.” Jelasnya sambil menunjukkan kalungnya.

Tiba-tiba saja aku teringat sesuatu. Kalung itu... Aku ingat dimana aku melihatnya. Saat itu, Farel menangis tersedu oleh kepergian kakeknya. Ia memakai kalung itu dan berkata bahwa kalung itu adalah pemberian kakeknya. Tunggu! Kalau begitu, Farel yang ini adalah Farel yang aku tunggu. Benarkah? “Farel? Apa kamu benar-benar Farel?” Aku hampir saja meneteskan airmata saat mengetahui kebenaran yang selama ini kucari.

Farel tersenyum. “Kau masih mengingatku?”

“Pertanyaan bodoh macam apa itu? Tentu saja aku mengingatmu.”

“Kau merindukanku?”

“Sangat.” Jawabku kemudian memeluknya erat. Kurasakan balasan pelukannya yang hangat merambat dalam tubuhku.

* * *

Senja yang mengalirkan sepi kini menjadi ramai oleh canda tawa dua insan yang melepas rindu. Pekikan burung-burung yang selalu melantunkan nada sendu, mengubah ritme senja menjadi lantunan indah bernada riang. Senyuman seorang gadis telah menghapus sepi dalam bayang-bayang jingga. Menyadur lakon kebahagiaan dalam sayup-sayup senja.

“Apa kamu masih ingat dengan janji kita?” Tanyaku sambil menikmati langit senja.

“Aku selalu ingat dan tak akan lupa.” Jawabnya, dan sepertinya tatapannya sama sepertiku, memandang langit senja yang berwarnakan jingga.

Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Kamu tahu? Setiap sore aku selalu disini menunggumu.”

“Dan kamu tahu? Setiap sorepun aku selalu melihat senja disana. Karna aku berfikir, kamu pun melihat senja. Jadi, aku dapat merasakan kehadiranmu disampingku karna kita melihat hal yang sama.” Ucapan Farel menggoreskan senyuman dalam hatiku. Aku yakin, Farel pun merasakan apa yang kurasakan saat kita masih menanti satu sama lain.

“Apa yang membuatmu kembali kesini, Farel?”

“Senja.” Jawabnya.

“Senja?” Aku menatapnya yang masih tenggelam dalam keindahan senja.

“Aku merindukan senjaku disini.” Aku semakin bingung dengan jawaban Farel.

“Maksudmu? Senja? Senja bisa dilihat dari mana saja, bukan?”

“Tapi senja disini berbeda.”

“Aku tidak mengerti.”

“Saat waktunya tiba, kau akan mengerti.”

* * *

Tiga bulan telah berlalu semenjak Farel kembali di sisiku. Dia benar-benar berubah. Dari wajahpun aku tak dapat mengenalinya. Sungguh berbeda dengan Farel kecil yang aku kenal dulu. Farel yang sering menangis, Farel yang usil, Farel yang selalu membuatku kesal namun juga selalu membuatku tertawa dan sangat nyaman berada di dekatnya. Sekarang berubah menjadi Farel yang keren, baik, pintar dan selalu perhatian padaku.

“Ikutlah denganku.” Farel menggenggam tanganku erat kemudian membawaku pergi entah kemana.

“Mau kemana?”

“Nanti kau juga akan tahu.”

Entah kemana dia akan membawaku, namun kuikuti saja kemauannya itu. Ia menutup kedua mataku dengan sehelai kain merah yang menghalang pandangku, menciptakan kegelapan dalam setiap sudut, membuat malam terlihat semakin gelap. Dengan hati-hati ia menuntunku menuju tempat yang ia maksud. Aku semakin penasaran, kemana dia akan membawaku?. Kakiku merasakan geli oleh sentuhan rerumputan di setiap jejak yang kubuat. Jalan menanjak tak membuatku lelah menuruti kemauan Farel. Setiap langkah selalu kudengar Farel berbisik dengan suara lembutnya. Kadang dia juga menggodaku dengan meneriaki ada ranting, tikus, ular atau apapun itu sehingga membuatku menjerit ketakutan. Kudengar Farel tertawa mendengar teriakanku yang memekakkan telinga. Langsung saja aku memukulnya pelan.

Langkahku berhenti begitu Farel memintaku tuk berhenti. Kurasakan semilir angin yang sangat sejuk menerpa tubuh kecilku. Memainkan serta gaun pemberian Farel yang kini kukenakan. Kain merah yang menutupi kini telah lepas dari penglihatanku. Masih dengan mata terpejam, kuhirup dalam angin lembut yang membelai sukmaku. Perlahan kubuka kedua mataku. Mengedipkannya berkali-kali tuk menghilangkan warna gelap yang masih tersisa dalam pandangku.

Senyumku tergores begitu saja, saat kulihat sekitar yang penuh dengan gemerlap lampu-lampu kecil berwarna-warni. Ditambah pemandangan dibawah yang sangat indah. Jakarta terlihat indah diatas sini. Belum juga kuhabiskan kekagumanku, bunyi kembang api di atas sana memekik telingaku. Membuat pandanganku teralih pada langit yang sedang berpesta warna. Senyumku tak juga pudar melihat benda kesukaanku itu. Warna-warni yang indah, menciptakan bunyi yang khas dalam telinga.

“Happy birthday Marsha.” Ucapan Farel membuatku terhenyak. Dengan cepat kualihkan pandanganku padanya.

“Kau ingat?” Tanyaku tak percaya.

“Tentu saja.” Ia tersenyum, sangat manis.

Aku memeluknya erat, menumpahkan segala kebahagiaanku pada pelukan hangatnya. “Terima kasih Farel.”

Farel tak mengucapkan sepatah katapun. Ia semakin erat memelukku. Menyalurkan kehangatan dalam kesejukan angin malam.

Aku menikmati kehangatan dalam pelukannya. Namun lembaran yang terjatuh di bawah pandangku, menyita perhatianku. Kulepas pelan pelukan hangat Farel. Kuambil lembaran itu yang ternyata adalah foto Farel dan seorang lelaki. Kupandang lekat wajah lelaki itu. Keningku mengerut mengamatinya. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang dan hatiku menjadi sakit. Ada apa ini? “Siapa dia?” Tanyaku sambil menunjukkan foto yang tadi kutemukan.

“Dia sahabatku.” Jawabnya sembari mengambil foto itu dari genggamanku. ”Ayo, kutunjukkan sesuatu yang lebih hebat.” Ajaknya sambil menarik tanganku. Namun aku hanya diam mematung sambil menarik ujung jaketnya dengan tanganku yang tak digenggamnya. Dia berhenti sambil memandangiku heran. Kutundukkan wajahku tanpa berkata apa-apa. “Marsha.” Ia memanggilku dengan lembut.

“Dimana dia?” Aku bertanya masih dengan kepalaku yang tertunduk.

“Dia?” Farel semakin heran dengan pertanyaanku.

Aku mencoba mengatur nafasku agar airmata tak mengalir. Menahan rasa sakit yang tiba-tiba bersarang dalam hatiku. “ Dimana Farel sekarang?” Aku tak bisa menahannya lagi. Rasa sakit yang kutahan, menitikkan airmata menuju pipiku.

“Apa maksudmu? Aku Farel.”

“Dimana dia?” Air mataku semakin menjadi.

"Marsha, Apa yang...” Farel mencoba semakin mendekatiku namun aku mencegahnya dengan teriakanku.

“Cukup! Cukup dengan semua permainan ini.”

Farel hanya terdiam menunggu penjelasanku yang terpotong oleh isakan yang tak dapat mewakili rasa sakitku.

“Dari awal aku selalu bertanya-tanya. Kenapa aku tak dapat merasakan rasa nyaman seperti saat aku bersama Farel sewaktu kecil. Aku tak dapat merasakan Farel dalam dirimu. Aku selalu merasa bersalah jika dekat denganmu. Aku tak dapat merasakan pelukan Farel dalam pelukanmu dan aku tak bisa merasakan kasih Farel dalam tatapanmu. Dan saat aku melihat foto lelaki yang kau sebut sahabatmu, aku tak tahu kenapa aku merasakan sakit, aku seperti melihat Farelku dalam dirinya.” Lagi-lagi tangisku memotong perkataanku. “Kau pikir, kau bisa membodohiku? Walaupun aku tidak pernah melihat Farel sejak saat itu, bukan berarti aku tak dapat mengenalinya. Hatiku dapat merasakannya.” Rasanya, aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Hatiku terlalu sakit menerima kenyataan ini.

“Maafkan aku.” Kata itulah yang pertama keluar dari mulut Farel setelah mendengar pernyataanku. Mungkin aku tidak harus menyebutnya Farel.

Aku diam sambil menahan sakit yang tak kunjung hilang, menunggu ia melanjutkan perkataannya.

“Farel adalah seorang sahabat yang sangat baik. Aku mengenalnya sejak kecil saat ia baru pindah dari Jakarta. Ia tetangga juga sahabatku. Dia pernah bercerita bahwa dia sedang menunggu seorang gadis yang sangat ia sayangi. Cantik, pintar dan selalu ada untuknya. Setahun yang lalu, menjelang ulang tahunmu, ia sangat bersemangat untuk menemuimu. Ia ingin membuat kejutan untukmu. Tapi…” Farel menggantungkan kata-katanya membuatku berfikir akan hal buruk yang terjadi padanya.

“Tapi apa?” “Dia kecelakaan. Tertabrak truk saat hendak kemari.”

Aku membungkam mulutku dengan kedua tanganku. Airmataku semakin deras mengalir. “Dimana dia sekarang? Dia baik-baik saja kan? Katakan bahwa dia baik-baik saja.”

“Kau... Sungguh ingin menemuinya?"

Aku mengangguk mantap.

* * *

Embun yang menetes di tanah Bandung kian menyejukkan jiwa, Pohon-pohon rindang yang menyambut pagi menyanyikan serta lagu indah bersenandungkan ketenangan. Namun embun yang seharusnya mengalirkan kesejukan, terlihat seperti airmata bagiku. Nyanyian pagi yang bersenandung tentang ketenangan berubah menjadi kegelisahan. Bayang-bayang Farel melengkapi kegelisahanku akan pertanyaan yang belum juga terjawab. Pertanyaan akan keberadaan sosok yang kunanti yang entah dimana ia sekarang. Kekhawatiran membayangi fikiranku akan hal yang tak ingin terjadi.

Aku hanya berjalan mengikuti Rian, sahabat Farel yang mengaku dirinya adalah Farel. Sayup sunyi mengelilingi keberadaan kami, tak ada sepatah katapun yang terucap. Rian terus saja berjalan. Entah kemana dia akan membawaku kepada Farel? Dimana Farel sekarang? Namun, mendadak saja jantungku terasa berhenti berdetak. Tubuhku menjadi kaku seketika itu saat kulihat Rian berjalan menuju tanah lapang yang hijau, disana terdapat gundukan-gundukan yang dikelilingi oleh papan-papan bertuliskan nama. “Kenapa?” Gumamku.

“Kenapa berhenti?” Rian bertanya tanpa mernghentikan langkahnya. Pandangannya tetap lurus ke depan.

“Rian, kenapa kita kemari?” Suaraku gemetar.

“Kau ingin bertemu Farel kan?” Rian tetap berjalan.

“Tapi... Tapi...” Aku tak mampu berkata apa-apa lagi. Rian menghentikan langkahnya sambil menatap papan nisan yang ada di depannya. “Hai sobat, Ada yang ingin bertemu denganmu.”

“Tidak... Tidak mungkin... Tidak mungkin...” Tubuhku terasa berat, kupaksakan berjalan menuju tempat Rian berdiri. Kulihat dalam papan itu tertulis ‘Farel Aditya’ “Farel” Tubuhku terjatuh begitu saja. “Farel... Farel... Farel...” Tak ada lagi yang keluar dari mulutku kecuali nama itu. Nama yang selalu memenuhi hari-hariku.

“Setelah tertabrak truk, dia sempat bertahan selama satu minggu. Ia tidak ingin membuatmu sedih dan menunggu terlalu lama. Jadi dia memintaku untuk menggantikan posisinya di sisimu, dengan berubah menjadi dia. Namun, aku baru bisa melakukannya sekarang.”

Aku terus saja menangis. Tak mampu berkata apapun.

“Maaf karna aku tak bisa menolak. Asal kau tahu, dia sangat mencintaimu sampai nafas terakhirnya, dan dia selalu mengharapkan senjanya bisa kembali dalam peluknya.”

Perkataan Rian membuat hatiku semakin sakit. Sangat sakit. “Mengapa jadi seperti ini? Mengapa kau pergi meninggalkanku, Farel. Mengapa kau lakukan ini? Mengapa... Mengapa...” Tangisanku memenuhi tanah hijau yang sangat sunyi ini. Tak ada siapapun, hanya bunyi ranting yang bergerak oleh tiupan angin. Rian hanya berdiri tanpa mengucapkan sepatah katapun, mendengarkanku meracau menyalahkan takdir yang telah mengambil Farel dariku.

* * *

Apakah kau melihat? Senja yang berwarna jingga, dengan gumpalan awan yang menyerupai darah. Apa kau juga merasakan angin yang berhembus, menyentuh pipiku yang basah akan airmata. Rasa sakit yang kurasa tak juga menghilang. Kenyataan yang kuhadapi sungguh tak dapat kuterima dalam kisah hidupku. Selama ini aku menantimu, Farel. Apa aku harus menanti lagi hingga ku dapat bertemu denganmu disana? Apakah selama itu? Apakah sesakit ini? Namun Farel, Ada satu hal yang belum sempat kukatakan padamu. Apa jika kukatakan saat ini dengan disaksikan oleh senja di ujung sana, kau dapat mendengarnya? Apa kau bersembunyi dibalik awan dan diam-diam melihatku? Ataukah, saat ini kau sedang memelukku dengan angin lembut yang menyerupai hatimu? Farel, aku mencintaimu, sungguh mencintaimu dan aku akan selalu menunggumu. Kita akan bersama, Farel. Kita akan bersama! Walaupun aku harus menunggumu di dunia yang berbeda, aku akan selalu menunggumu. Kita akan bersama di dunia kekal yang tercipta oleh kebahagiaan abadi dan tak akan ada yang bisa memisahkan kita. Sekali lagi, kita berjanji untuk bertemu kembali.

E N D

Hanna J
Jakarta, 15 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar