Elizabeth, nama gadis itu, termenung seorang diri dalam
ruangan pengap karna tak setitikpun cahaya dibiarkannya masuk. Tak sepatah
katapun terdengar. Hanya kebisuan dan kesepian yang mengelilingi ruangan itu.
Kesendirian telah merengkuhnya begitu lama. Semenjak Nayla, adiknya yang sangat
ia sayangi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Orang tuanya pun tak
pernah lagi berbicara padanya. Mereka sangat terpukul dan masih belum bisa
menerima kenyataan. Kejadiannya begitu singkat. Ketika itu Eliza dan Nayla yang
saat itu masih kecil, bermain bola dengan riangnya di depan rumah mereka.
Karena Eliza terlalu kencang memukul bola, bola itu menggelinding ke jalanan.
Alhasil, Naylapun mengambilnya. Naas, tanpa diduga dari arah kanan sebuah mobil
melaju dengan kencang...
Eliza memejamkan matanya. Tak mampu mengingat-ingat lagi
kejadian saat itu. Cukuplah menjadi kenangan pahit yang terkubur dalam pada
buku usang yang terpatri di hatinya. Tak perlu diingat.
*
* *
Hari-hari berjalan seperti biasa, pagi buta ia berangkat
sekolah tanpa berpamitan pada orang tuanya. Dimanapun ia berada, kesepian
selalu mengikutinya. Teman-temannyapun seperti tak menggubris keberadaannya. Hanya
Kevin, sahabatnya sejak kecil, yang masih setia berada di dekatnya. Kadang ia
selalu menyanyikan lagu dengan petikan gitar yang mengiringinya dibawah pohon
rindang tempat mereka bermain dulu. Bahkan ukiran nama yang pernah mereka buat,
masih tersirat jelas dalam batang pohon yang menaunginya. “Eliza, apa kamu
masih ingat, lagu yang dulu sering kita nyanyikan?” Tanya Kevin sambil
memandangi ukiran nama yang pernah mereka buat. Tak lama kemudian, syair-syair
merdu tercipta dari dawai juga suara lembut Kevin. Eliza menikmati setiap
petikan gitar yang mengalun, sesekali ia ikut serta menyanyikan lagu yang
menjadi kesukaan mereka berdua. Segores senyum terukir indah pada wajah Eliza.
Senyum yang hanya bisa ia ciptakan saat bersama Kevin. Namun, yang tak
dimengerti Eliza adalah Kevin yang selalu memasang wajah sedih setelah
menyanyikan lagu itu. Tak kadang juga, ia menitikkan airmata ditengah
lantunannya yang merdu. Saat Eliza menanyakannya, Kevin tak juga menjawab.
*
* *
Eliza membuka pintu dengan pelan. Ruang tamu terlihat
sepi. Tak terlihat keberadaan orang tuanya dimanapun. Eliza tak menggubris
dengan keheningan disekelilingnya. Bukankah itu sudah biasa? Ia pun berjalan
menuju kamarnya. Namun, kehadiran seseorang dikamar Nayla, yang berada
disamping kamarnya, membuat langkahnya terhenti. ‘Siapa dia?’ pikir Eliza.
“Bagaimana kamar barumu? Kamu suka?” Ibu Eliza terlihat
menghampiri gadis itu.
“Apa? Kamar baru?” Eliza masuk begitu saja. Lagi-lagi
Ibunya tak menggubrisnya. “Orang ini akan tinggal disini, Bu? Di kamar Nayla?”
Ibunya tetap diam. “Ibu. Aku tidak suka orang ini ada disini. Suruh dia pergi.”
Elizapun pergi menuju kamarnya dengan amarah yang membuncah.
*
* *
Sudah satu minggu gadis itu ada dirumah Eliza.
Orangtuanya selalu memberi perhatian lebih padanya. Melebihi perhatiannya pada
Eliza. Kasih sayang yang seharusnya Eliza dapatkanpun tengah direnggut olehnya.
Keberadaan gadis itu membuat Eliza merasa tersisihkan. Rasa cemburupun mulai
menyelimuti hatinya yang tak putih lagi. Siapa gadis itu? Kenapa dengan
mudahnya ia mendapat perhatian dari orang tuanya?
“Apa Ibu lebih sayang dengan orang asing itu dari pada
aku, anak kandung Ibu sendiri? Aku kecewa sama Ibu.” Umpat Eliza pada Ibunya
yang tengah terduduk dengan album lama yang digenggamnya. Ia pun berlari ke
kamar dan membanting pintu kamarnya.
Di ruang keluarga, Ibunya menangis sambil mendekap erat
album yang ada di tangannya.
Begitu juga Eliza tengah menangis tersedu sambil duduk
dibangku belajarnya. Tersirat penyesalan karna telah membuat Ibunya menangis.
“Maafkan aku, Ibu. Aku tak ingin membuat Ibu menangis. Hanya saja, aku kecewa pada Ibu.”
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Eliza terbuka.
Terlihat sosok Ibunya yang masih terurai airmata masuk dan duduk di tepi
ranjangnya. “Maafkan Ibu, nak. Ibu tak bisa menjagamu dengan baik.”
Eliza hanya diam. Menahan tangis yang tak dapat ia
bendung. Ia tak mau membuat Ibunya makin bersedih dengan tangisannya.
“Ibu, kenapa disini? Ayo kita keluar.” Gadis asing itu
muncul di kamar Eliza dan mengajak Ibu Eliza tuk meninggalkan ruangan itu.
Eliza semakin jengkel dengannya. Bahkan ia kini memanggil Ibu Eliza dengan
panggilan ‘Ibu’?
*
* *
Satu-satunya yang masih Eliza punya saat ini adalah
Kevin. Sahabatnya yang satu itu, tak akan mungkin pergi darinya. Dia tahu bahwa
dia sangat menyayanginya. Begitupun ia. Eliza berlari menuju tempat dimana ia
biasa bertemu dengannya. Baru saja ia keluar dari rumahnya, ia menemukan sosok
Kevin dengan seorang gadis. Eliza menyipitkan matanya untuk dapat menangkap
wajah gadis itu. Eliza membelalakkan matanya tak percaya. Gadis itu... Gadis
yang merebut perhatian orang tuaku dan... Astaga! Mereka berpelukan?
Eliza menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tak
percaya dengan pemandangan di depannya. Airmata pun mengalir membasahi pipinya.
Ia segera berlari dan terus berlari dengan menahan sesak yang menggelayutinya.
Tubuh Eliza terjatuh begitu saja dibawah pepohonan yang
tak asing baginya. Isakannya menjadi tangis sendu yang mengiringi nyanyian
angin senja.
*
* *
Dengan amarah yang membara Eliza menghampiri gadis asing
itu yang tengah duduk di ranjang mendiang adiknya. Dengan nafas yang memburu ia
lontarkan segala isi hatinya pada gadis tak tahu diri itu. “Apa yang kau
inginkan sebenarnya? Apa kau belum puas! Setelah kamar adikku, kasih sayang
orang tuaku, dan sekarang kau ingin merebut Kevin dariku? Kenapa kau mengambil
semuanya dariku? Apa kau ingin menghancurkan kehidupanku? Apa aku pernah punya
salah denganmu? Apa yang kau inginkan?”
Gadis itu tetap diam. Namun, terlihat jelas, airmatanya
menitik perlahan.
Melihat airmata yang terjatuh dari bola matanya, membuat
hati Eliza tersayat. Kenapa? Padahal jelas-jelas ia telah membuat Eliza
menderita. Eliza tak menggubrisnya. Ia sudah terlanjur kesal dibuatnya. “Aku
ingin kau pergi dari sini. Jauhi keluargaku juga Kevin. Dan jangan pernah
kembali kesini.” Ucap Eliza kemudian pergi menuju kamarnya sambil membanting
pintu kamarnya.
Tangis gadis itu semakin terdengar pilu. Seakan
menyembunyikan kebenaran dari cerita yang sesat.
*
* *
Dengan sebuket bunga yang digenggamnya juga pakaian yang
serba hitam, gadis asing itu melangkahkan kakinya dengan irama sendu. Eliza
yang menangkap sosoknya di jalan, dengan diam-diam ia ikuti jejak gadis itu.
“Hendak kemana dia?” Pikir Eliza. Dari awal Eliza merasa ada yang aneh
dengannya, wajahnyapun seperti tak asing baginya. Desis-desis curigapun
menggelayuti fikiran Eliza.
Perlahan namun pasti. Tujuan gadis itu semakin terbaca.
Kecurigaan Elizapun berubah menjadi rasa heran. Ia pandangi sekeliling dengan
tanda tanya besar yang ada di otaknya. Gundukan-gundukan tanah yang ada
disekitarpun menciptakan pertanyaan besar di benaknya. “Kuburan? Apa yang gadis
itu lakukan di tempat seperti ini?” Eliza melihat gadis itu tengah meletakkan
bunga yang sedari tadi di genggamnya di atas nisan yang entah siapa pemiliknya.
Wajah sendu itu muncul kembali disertai isakan tangis juga kata-kata yang
melengkapinya.
“Aku harap kakak tenang disana. Aku sangat merindukan
kakak. Walaupun kejadian itu sudah berlalu sangat lama, aku tak akan bisa
melupakan kakak, juga hari-hari yang kita lewati bersama. Kakak yang tenang
disana ya. Ayah dan Ibu, biar aku yang jaga.”
Setelah gadis itu
pergi, Eliza mendekat pada nisan yang tengah memenuhi otaknya sedari tadi. Papan
nisan yang terlihat berdebu itu menandakan bahwa gundukan tanah yang ada di
depan Eliza sudah sangat lama keberadaannya. Ia geser bunga yang menghalangi
tulisan yang ada pada papan nisan. Kemudian dengan terbata ia membaca nama yang
terukir. “ELI... ZA... BETH... “
E N D
Hanna J
Jakarta,
20 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar