Sabtu, 20 Desember 2014

The Death's Soul





Elizabeth, nama gadis itu, termenung seorang diri dalam ruangan pengap karna tak setitikpun cahaya dibiarkannya masuk. Tak sepatah katapun terdengar. Hanya kebisuan dan kesepian yang mengelilingi ruangan itu. Kesendirian telah merengkuhnya begitu lama. Semenjak Nayla, adiknya yang sangat ia sayangi meninggalkannya dan tak pernah kembali lagi. Orang tuanya pun tak pernah lagi berbicara padanya. Mereka sangat terpukul dan masih belum bisa menerima kenyataan. Kejadiannya begitu singkat. Ketika itu Eliza dan Nayla yang saat itu masih kecil, bermain bola dengan riangnya di depan rumah mereka. Karena Eliza terlalu kencang memukul bola, bola itu menggelinding ke jalanan. Alhasil, Naylapun mengambilnya. Naas, tanpa diduga dari arah kanan sebuah mobil melaju dengan kencang...

Eliza memejamkan matanya. Tak mampu mengingat-ingat lagi kejadian saat itu. Cukuplah menjadi kenangan pahit yang terkubur dalam pada buku usang yang terpatri di hatinya. Tak perlu diingat.
* * *
Hari-hari berjalan seperti biasa, pagi buta ia berangkat sekolah tanpa berpamitan pada orang tuanya. Dimanapun ia berada, kesepian selalu mengikutinya. Teman-temannyapun seperti tak menggubris keberadaannya. Hanya Kevin, sahabatnya sejak kecil, yang masih setia berada di dekatnya. Kadang ia selalu menyanyikan lagu dengan petikan gitar yang mengiringinya dibawah pohon rindang tempat mereka bermain dulu. Bahkan ukiran nama yang pernah mereka buat, masih tersirat jelas dalam batang pohon yang menaunginya. “Eliza, apa kamu masih ingat, lagu yang dulu sering kita nyanyikan?” Tanya Kevin sambil memandangi ukiran nama yang pernah mereka buat. Tak lama kemudian, syair-syair merdu tercipta dari dawai juga suara lembut Kevin. Eliza menikmati setiap petikan gitar yang mengalun, sesekali ia ikut serta menyanyikan lagu yang menjadi kesukaan mereka berdua. Segores senyum terukir indah pada wajah Eliza. Senyum yang hanya bisa ia ciptakan saat bersama Kevin. Namun, yang tak dimengerti Eliza adalah Kevin yang selalu memasang wajah sedih setelah menyanyikan lagu itu. Tak kadang juga, ia menitikkan airmata ditengah lantunannya yang merdu. Saat Eliza menanyakannya, Kevin tak juga menjawab.
* * *
Eliza membuka pintu dengan pelan. Ruang tamu terlihat sepi. Tak terlihat keberadaan orang tuanya dimanapun. Eliza tak menggubris dengan keheningan disekelilingnya. Bukankah itu sudah biasa? Ia pun berjalan menuju kamarnya. Namun, kehadiran seseorang dikamar Nayla, yang berada disamping kamarnya, membuat langkahnya terhenti. ‘Siapa dia?’ pikir Eliza.
“Bagaimana kamar barumu? Kamu suka?” Ibu Eliza terlihat menghampiri gadis itu.
“Apa? Kamar baru?” Eliza masuk begitu saja. Lagi-lagi Ibunya tak menggubrisnya. “Orang ini akan tinggal disini, Bu? Di kamar Nayla?” Ibunya tetap diam. “Ibu. Aku tidak suka orang ini ada disini. Suruh dia pergi.” Elizapun pergi menuju kamarnya dengan amarah yang membuncah.
* * *
Sudah satu minggu gadis itu ada dirumah Eliza. Orangtuanya selalu memberi perhatian lebih padanya. Melebihi perhatiannya pada Eliza. Kasih sayang yang seharusnya Eliza dapatkanpun tengah direnggut olehnya. Keberadaan gadis itu membuat Eliza merasa tersisihkan. Rasa cemburupun mulai menyelimuti hatinya yang tak putih lagi. Siapa gadis itu? Kenapa dengan mudahnya ia mendapat perhatian dari orang tuanya?
“Apa Ibu lebih sayang dengan orang asing itu dari pada aku, anak kandung Ibu sendiri? Aku kecewa sama Ibu.” Umpat Eliza pada Ibunya yang tengah terduduk dengan album lama yang digenggamnya. Ia pun berlari ke kamar dan membanting pintu kamarnya.
Di ruang keluarga, Ibunya menangis sambil mendekap erat album yang ada di tangannya.
Begitu juga Eliza tengah menangis tersedu sambil duduk dibangku belajarnya. Tersirat penyesalan karna telah membuat Ibunya menangis. “Maafkan aku, Ibu. Aku tak ingin membuat  Ibu menangis. Hanya saja, aku kecewa pada Ibu.”
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Eliza terbuka. Terlihat sosok Ibunya yang masih terurai airmata masuk dan duduk di tepi ranjangnya. “Maafkan Ibu, nak. Ibu tak bisa menjagamu dengan baik.”
Eliza hanya diam. Menahan tangis yang tak dapat ia bendung. Ia tak mau membuat Ibunya makin bersedih dengan tangisannya.
“Ibu, kenapa disini? Ayo kita keluar.” Gadis asing itu muncul di kamar Eliza dan mengajak Ibu Eliza tuk meninggalkan ruangan itu. Eliza semakin jengkel dengannya. Bahkan ia kini memanggil Ibu Eliza dengan panggilan ‘Ibu’?
* * *
Satu-satunya yang masih Eliza punya saat ini adalah Kevin. Sahabatnya yang satu itu, tak akan mungkin pergi darinya. Dia tahu bahwa dia sangat menyayanginya. Begitupun ia. Eliza berlari menuju tempat dimana ia biasa bertemu dengannya. Baru saja ia keluar dari rumahnya, ia menemukan sosok Kevin dengan seorang gadis. Eliza menyipitkan matanya untuk dapat menangkap wajah gadis itu. Eliza membelalakkan matanya tak percaya. Gadis itu... Gadis yang merebut perhatian orang tuaku dan... Astaga! Mereka berpelukan?
Eliza menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tak percaya dengan pemandangan di depannya. Airmata pun mengalir membasahi pipinya. Ia segera berlari dan terus berlari dengan menahan sesak yang menggelayutinya.
Tubuh Eliza terjatuh begitu saja dibawah pepohonan yang tak asing baginya. Isakannya menjadi tangis sendu yang mengiringi nyanyian angin senja.
* * *
Dengan amarah yang membara Eliza menghampiri gadis asing itu yang tengah duduk di ranjang mendiang adiknya. Dengan nafas yang memburu ia lontarkan segala isi hatinya pada gadis tak tahu diri itu. “Apa yang kau inginkan sebenarnya? Apa kau belum puas! Setelah kamar adikku, kasih sayang orang tuaku, dan sekarang kau ingin merebut Kevin dariku? Kenapa kau mengambil semuanya dariku? Apa kau ingin menghancurkan kehidupanku? Apa aku pernah punya salah denganmu? Apa yang kau inginkan?”
Gadis itu tetap diam. Namun, terlihat jelas, airmatanya menitik perlahan.
Melihat airmata yang terjatuh dari bola matanya, membuat hati Eliza tersayat. Kenapa? Padahal jelas-jelas ia telah membuat Eliza menderita. Eliza tak menggubrisnya. Ia sudah terlanjur kesal dibuatnya. “Aku ingin kau pergi dari sini. Jauhi keluargaku juga Kevin. Dan jangan pernah kembali kesini.” Ucap Eliza kemudian pergi menuju kamarnya sambil membanting pintu kamarnya.
Tangis gadis itu semakin terdengar pilu. Seakan menyembunyikan kebenaran dari cerita yang sesat.
* * *
Dengan sebuket bunga yang digenggamnya juga pakaian yang serba hitam, gadis asing itu melangkahkan kakinya dengan irama sendu. Eliza yang menangkap sosoknya di jalan, dengan diam-diam ia ikuti jejak gadis itu. “Hendak kemana dia?” Pikir Eliza. Dari awal Eliza merasa ada yang aneh dengannya, wajahnyapun seperti tak asing baginya. Desis-desis curigapun menggelayuti fikiran Eliza.
Perlahan namun pasti. Tujuan gadis itu semakin terbaca. Kecurigaan Elizapun berubah menjadi rasa heran. Ia pandangi sekeliling dengan tanda tanya besar yang ada di otaknya. Gundukan-gundukan tanah yang ada disekitarpun menciptakan pertanyaan besar di benaknya. “Kuburan? Apa yang gadis itu lakukan di tempat seperti ini?” Eliza melihat gadis itu tengah meletakkan bunga yang sedari tadi di genggamnya di atas nisan yang entah siapa pemiliknya. Wajah sendu itu muncul kembali disertai isakan tangis juga kata-kata yang melengkapinya.
“Aku harap kakak tenang disana. Aku sangat merindukan kakak. Walaupun kejadian itu sudah berlalu sangat lama, aku tak akan bisa melupakan kakak, juga hari-hari yang kita lewati bersama. Kakak yang tenang disana ya. Ayah dan Ibu, biar aku yang jaga.”
 Setelah gadis itu pergi, Eliza mendekat pada nisan yang tengah memenuhi otaknya sedari tadi. Papan nisan yang terlihat berdebu itu menandakan bahwa gundukan tanah yang ada di depan Eliza sudah sangat lama keberadaannya. Ia geser bunga yang menghalangi tulisan yang ada pada papan nisan. Kemudian dengan terbata ia membaca nama yang terukir. “ELI... ZA... BETH...  

E N D


Hanna J
Jakarta, 20 Desember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar