Malam ceritakan kisah tentang hening.
Nama yang tercipta dari pohon yang
membisu.
Tak ada tarian juga nyanyian.
Meski angin merayunya dengan
bisikan-bisikan yang membuat hati bergetar,
Namun ia tetap kokoh.
Mempertahankan hening
Yang menjadikan arti tersendiri
bagi malam.
Angin
berdesir dengan syahdunya. Memainkan lembut rambut panjang seorang gadis yang
tengah terduduk di teras gubuk yang menaunginya. Pikirannya telah dipenuhi oleh
buai indah ciptaan Tuhan yang menghias malam. Matanya menerawang jauh pada
titik-titik kecil yang memenuhi layar hitam diatasnya. Senyum yang tergores
menghias indah pada wajah cantiknya. Namun, tatapan sendu dari pandangannya
mencipta kejanggalan pada malam.
Apa
yang salah? Bukankah purnama dengan setia menerangi kelam yang mendekapnya?
Angin lembut dengan merdunya melantunkan dawai yang mencipta kedamaian. Begitu
juga ilalang disekitar yang menari dengan eloknya. Tidakkah malam begitu indah
tuk dinikmati?
Akh,
ternyata hati yang rapuh telah mengacaukan semuanya. Percikan rindu yang
berbisik pada jiwa, terus mengusik hati yang mulai goyah. Benih cinta yang
telah mengakar dalam sanubari, perlahan menumbuhkan duri yang mampu merenggut
jiwa kapanpun waktu berdetik. Kesetiaan ataupun kebodohan yang mengiringi
langkahnya, memaksa diri tuk terdiam. Rasa yang tak tersampaikan, rasa yang
malampun tak tahu akan kebenaran akhirnya, dan rasa yang yang mencipta
keheningan. Seperti itulah rasa yang telah gadis itu hantarkan pada dunianya.
Kebisuan
telah merenggut waktu yang mengalir. Membungkam hati yang hendak menguak
kebenaran. Hanya bongkahan kata pada malam yang mampu ia lontarkan. Tak ada
sedikitpun keberanian yang mengalir pada rasa yang membatu. Purnamapun tak
dapat membongkar isi hatinya pada bayangan yang selalu ia pantulkan.
“Apa
kau disana juga melihat purnama yang sama denganku?” Gadis itu meratap purnama
dengan penuh harap. Dalam sinar yang memantul, tergambar dalam angannya,
bayangan yang selalu memercik pada harapan.
“Jika
saja aku mampu mengungkap rahasia malam yang menarikmu di dalamnya, jika saja
aku mempunyai segenggam keberanian tuk mengucap kata di depanmu, jika saja apa
yang menjadi harapanku juga menjadi harapanmu.” Gadis itu mulai merangkai kata
pada purnama. “Jika kuucapkan melalui desir angin yang membelai malam, akankah
rasaku tersampaikan padamu?” Tatapan gadis itu tak juga lepas dari keindahan
purnama. “Aku mencintaimu Rangga. Rasa yang telah mengakar ini, tak akan mudah
untuk tumbang. Karena ketulusan telah menjadi bagian darinya.” Lagi-lagi tatapan
yang menyiratkan harapan kosong, ia pantulkan pada sinar purnama. “Apakah kau
merasakan rasa yang sama denganku?”
Tik….
Tik… Tik… Entah bagaimana gerimis bisa mengacaukan keheningan yang telah
sempurna menghiasi malam. Menggetarkan raga yang dipenuhi warna kelam.
Membasahi dinding hati yang semakin rapuh karena ketidakberdayaan. Gadis itu
terisak. “Namun, semuanya sudah terlambat, bukan?” Tubuh gadis itu bergetar
sembari meremas kertas yang ada digenggamannya. Ukiran pena yang indah seolah
menjadi benda yang sangat membunuh ketika nama lelaki yang didambanya terukir
dalam kertas merah jambu, bersama sepasang merpati yang turut singgah dengan
nama perempuan yang asing dalam ingatannya.
Isakan
gadis itu semakin menggemparkan malam. Memaksa ilalang tuk merangkai kepedihan
dalam tariannya. Sedang purnama menatap nanar pada hati yang pilu. Menangisi
kebisuan yang menggelayut pada rasa yang menjadi rahasia, dan pada akhirnya
rasa itu tetap singgah dalam hening.
Jakarta, 14 September 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar