Senin, 14 September 2015

Hening




Malam ceritakan kisah tentang hening.
Nama yang tercipta dari pohon yang membisu.
Tak ada tarian juga nyanyian.
Hanya hening.

Meski angin merayunya dengan bisikan-bisikan yang membuat hati bergetar,
Namun ia tetap kokoh.
Mempertahankan hening
Yang menjadikan arti tersendiri bagi malam.

Angin berdesir dengan syahdunya. Memainkan lembut rambut panjang seorang gadis yang tengah terduduk di teras gubuk yang menaunginya. Pikirannya telah dipenuhi oleh buai indah ciptaan Tuhan yang menghias malam. Matanya menerawang jauh pada titik-titik kecil yang memenuhi layar hitam diatasnya. Senyum yang tergores menghias indah pada wajah cantiknya. Namun, tatapan sendu dari pandangannya mencipta kejanggalan pada malam.
Apa yang salah? Bukankah purnama dengan setia menerangi kelam yang mendekapnya? Angin lembut dengan merdunya melantunkan dawai yang mencipta kedamaian. Begitu juga ilalang disekitar yang menari dengan eloknya. Tidakkah malam begitu indah tuk dinikmati?
Akh, ternyata hati yang rapuh telah mengacaukan semuanya. Percikan rindu yang berbisik pada jiwa, terus mengusik hati yang mulai goyah. Benih cinta yang telah mengakar dalam sanubari, perlahan menumbuhkan duri yang mampu merenggut jiwa kapanpun waktu berdetik. Kesetiaan ataupun kebodohan yang mengiringi langkahnya, memaksa diri tuk terdiam. Rasa yang tak tersampaikan, rasa yang malampun tak tahu akan kebenaran akhirnya, dan rasa yang yang mencipta keheningan. Seperti itulah rasa yang telah gadis itu hantarkan pada dunianya.
Kebisuan telah merenggut waktu yang mengalir. Membungkam hati yang hendak menguak kebenaran. Hanya bongkahan kata pada malam yang mampu ia lontarkan. Tak ada sedikitpun keberanian yang mengalir pada rasa yang membatu. Purnamapun tak dapat membongkar isi hatinya pada bayangan yang selalu ia pantulkan.
“Apa kau disana juga melihat purnama yang sama denganku?” Gadis itu meratap purnama dengan penuh harap. Dalam sinar yang memantul, tergambar dalam angannya, bayangan yang selalu memercik pada harapan.
“Jika saja aku mampu mengungkap rahasia malam yang menarikmu di dalamnya, jika saja aku mempunyai segenggam keberanian tuk mengucap kata di depanmu, jika saja apa yang menjadi harapanku juga menjadi harapanmu.” Gadis itu mulai merangkai kata pada purnama. “Jika kuucapkan melalui desir angin yang membelai malam, akankah rasaku tersampaikan padamu?” Tatapan gadis itu tak juga lepas dari keindahan purnama. “Aku mencintaimu Rangga. Rasa yang telah mengakar ini, tak akan mudah untuk tumbang. Karena ketulusan telah menjadi bagian darinya.” Lagi-lagi tatapan yang menyiratkan harapan kosong, ia pantulkan pada sinar purnama. “Apakah kau merasakan rasa yang sama denganku?”
Tik…. Tik… Tik… Entah bagaimana gerimis bisa mengacaukan keheningan yang telah sempurna menghiasi malam. Menggetarkan raga yang dipenuhi warna kelam. Membasahi dinding hati yang semakin rapuh karena ketidakberdayaan. Gadis itu terisak. “Namun, semuanya sudah terlambat, bukan?” Tubuh gadis itu bergetar sembari meremas kertas yang ada digenggamannya. Ukiran pena yang indah seolah menjadi benda yang sangat membunuh ketika nama lelaki yang didambanya terukir dalam kertas merah jambu, bersama sepasang merpati yang turut singgah dengan nama perempuan yang asing dalam ingatannya.
Isakan gadis itu semakin menggemparkan malam. Memaksa ilalang tuk merangkai kepedihan dalam tariannya. Sedang purnama menatap nanar pada hati yang pilu. Menangisi kebisuan yang menggelayut pada rasa yang menjadi rahasia, dan pada akhirnya rasa itu tetap singgah dalam hening.

Jakarta, 14 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar