Lelaki itu berdiri sambil melemparkan pandangnya keluar
jendela kereta yang tengah melaju. Menikmati pemandangan malam kota Jakarta
yang tak pernah mati. Sedang aku tengah duduk berseberangan dengan tempatnya
berdiri sembari menatap nanar wajahnya. Wajah itu, mengapa mengingatkanku pada
seseorang? Seseorang yang selalu ingin kutemui. Tentu saja, orang itu adalah
kau, Jingga. Hanya saja ia lebih tinggi dan badannya sedikit lebih ramping
darimu.
Kualihkan pandanganku begitu orang yang ku tatap sedari tadi mengganti
pandangannya ke dalam kereta. Sepertinya ia tak menyadari bahwa aku sempat
menatapnya. Entahlah, apakah wajahnya memang benar-benar mirip denganmu,
ataukah rinduku yang begitu kuat hingga fikiranku memantulkan wajah yang mirip
denganmu?
Akh, membayangkan wajahmu seperti ini membuat dadaku semakin
sesak. Rasa rindu mulai menggelayut kembali dalam fikiranku. Dan rasa ingin
bertemu semakin kuat mengalir dalam hasratku. Hatiku memanggilmu Jingga,
kalbuku mengharapmu. Bayangmu seperti mengalir melewati laju kereta yang tak
dapat dicekal waktu. Dimanakah kau saat ini, Jingga?
Stasiun Mampang. Pintu kiri dari arah laju kereta terbuka.
Orang itu berpindah tempat berdiri di depan pintu kanan dari arah laju kereta,
tepat disampingku. Aku tak berani menarik pandanganku padanya. Terlalu
mencurigakan menurutku. Bukannya bermaksud apa-apa. Aku hanya sekadar ingin
memastikan saja bahwa lelaki itu memang menyerupaimu ataukah hanya imajinasiku
saja?
Aku hanya berani menatap lurus kedepan atau menundukkan
pandanganku. Sedikitpun tak berani menoleh ke arah orang itu. Suara operator
kereta menggema, memberitahu bahwa kereta akan berhenti di stasiun Sudirman.
Pintu di sampingku terbuka sembari menarik langkah lelaki itu menuju luar
gerbong besi yang dingin ini. Aku bahkan belum sempat meliriknya untuk
memastikan.
Pintu disampingku tertutup rapat dan kereta kembali melaju.
Aku menatap kosong ke luar jendela. Menatap suasana ramai Jakarta yang tak
mampu membunuh sepiku. Kadang, aku merasa kasihan dengan diriku sendiri, yang
selalu terpuruk dan tak dapat melihat indahnya dunia. Semua karna kau, Jingga.
Fikiranku hanya tersita akan bayangmu. Kau yang begitu kejam membiarkanku
seperti ini.
Aku tersentak kaget begitu mendengar operator kereta
menyebutkan kata Tanah Abang. Aku segera menyadarkan diriku kembali dari
lamunanku dan bersiap-siap untuk turun. Tiba-tiba saja aku teringat pada sosok
lelaki yang beberapa menit lalu menyita perhatianku. Wajah lelaki yang
mengingatkanku padamu. Aku mencoba untuk kembali mengingat wajah lelaki itu.
Tapi tak dapat kutemukan sosok wajahnya dalam bayanganku. Tampaknya lelaki itu
bukannya menyerupaimu, melainkan fikiranku yang tak bisa lepas darimu, Jingga.
Hingga yang nampak di setiap pandangku adalah wajahmu.
Hanna J
Jakarta, 30 Agustus
2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar