Dengarkanlah jingga. Simak apa yang akan kuucap, tentang
gadis yang menahan rindu dalam pekat malam.
Gadis itu duduk termenung sembari menatap purnama dengan
harapan bahwa ia akan menemukan wajah seorang yang dirindunya dalam pantulan cahayanya.
Namun bayang-bayang bening menghalangi pandangnya. Ia menengadahkan wajahnya,
mencoba untuk mencegah gerimis pada malamnya. Berpaling pada kenyataan bahwa
tak ada sesosokpun yang terlintas dalam pantulnya.
Rindu yang mendera mengundang pedih dalam hatinya. Tanpa bisa
ia cegah, pedih itu semakin kuat mendekap menghantarkan kenangan tentang lelaki
yang dirindunya. Tentang lelaki yang menghilang tanpa alasan yang tak dapat
dimengerti. Hanya luka juga kenangan yang menetap dalam setiap sudut, yang menjelaskan
bahwa ia pernah ada mewarnai dunia gadis itu. Apa kau tahu, derita yang dipikul
gadis itu?
Keningnya mulai mengerut. Menarik nafas dalam kemudian
menghembuskannya perlahan. Ia lakukan itu untuk menahan airmata yang berada di
ujung pelupuknya. Ia lakukan berkali-kali, namun sia-sia. Rasa sakit semakin
erat mendekap, membuatnya membiarkan tetes bening mengalir melalui pipinya. Dan
isakan pilu berdesir pada angin yang berbisik. Seolah menceritakan rindu yang
tak mampu ia ungkapkan lewat diksi yang berhamburan.
Lewat tengah malam. Gadis itu tetap termenung dalam diamnya.
Menunggu keajaiban bahwa suatu saat nanti, lelaki yang dirindunya akan
mengakhiri dukanya, menghapus rasa sakitnya, memeluk rasanya. Tak peduli selama
apapun itu. Tak peduli dengan pedih yang mendekapnya semakin erat. Ia memilih
untuk menunggu lelaki itu. Menghadapi rindu yang selalu menciptakan gerimis
pada malamnya.
Jingga, tahukah kau bahwa gadis itu adalah aku, dan lelaki
yang ditunggunya adalah kau. Kau yang begitu tega menggoreskan luka pada
hidupku. Kau yang begitu tega meninggalkan aku dengan kenangan yang selalu
mencipta luka dalam hariku. Kau yang begitu tega membiarkankanku mati perlahan
karna rindu yang menjerat ini begitu menyakitkan. Kau yang begitu tega
melakukan semua hal ini padaku. Dan aku yang begitu bodoh tetap setia pada
penantian ini.
Hanna J
Jakarta, 29 Agustus 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar