Terkadang mimpi dapat menjadi sebuah pertanda yang
terjadi dalam kehidupan nyata. Seperti saat kau kembali memeluk rasaku yang
tengah rapuh. Semua itu terlukis dalam bunga tidurku. Debarnya pun terasa
begitu nyata. Saat kau berdiri di belakangku dan membisikkan sesuatu tepat di
telingaku. Aku tak mampu berkata, yang dapat kurasa hanya debar jantungku yang
kian tak beraturan. Saat mataku terbuka pun, debar itu masih melekat dalam
tubuhku. Rasanya seperti nyata bahwa kau benar-benar ada denganku. Namun, mimpi
itu memang menggambarkan kenyataan yang tengah kujalani. Kau kembali menghiasi
hariku. Mendatangkan kembali rasa yang telah lama kucoba tuk musnahkan. Harapan
pun tersirat tanpa bisa kucegah, bersama waktu yang kian mengalir. Kali ini aku
percaya pada harapan itu, aku tak akan terluka untuk kedua kalinya. Aku begitu
yakin dengan harapanku.
Hingga suatu hari aku bermimpi bahwa kau telah jenuh
menungguku, hingga kau pergi begitu saja tanpa meninggalkan kata-kata
perpisahan untukku. Aku tersentak dalam tidurku. Kusadari pipiku telah basah
oleh airmata. Aku mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa itu hayalah mimpi.
Mimpi yang tak
berarti apapun. Namun aku salah. Setelah mimpi itu muncul dalam tidurku, tak
kudengar lagi kabar darimu. Kau pun menghilang. Seperti tiga tahun yang lalu.
Kau pergi dengan membawa kebahagiaanku. Kau pergi dengan meninggalkan luka pada
diriku. Kau pergi tanpa sebab dan alasan yang jelas.
Luka ini mengingatkanku pada awal benih rasa yang
kutanamkan padamu tumbuh. Ya, delapan tahun yang lalu. Semakin hari, benih itu
semakin tumbuh besar. Menciptakan akar yang kuat, dan tumbuh semakin besar
meski luka yang selalu kau siramkan padanya. Bertahun-tahun ia tetap bertahan, meski kau tak mengalihkan
pandanganmu padanya. Ia tetap tegar dan tumbuh. Ia percaya bahwa harapan yang
ia tanam akan menjadi nyata. Ia percaya.
Lima tahun pohon itu tetap berdiri. Ia tengah lelah
menunggu. Keputusasaan telah menggoyahkannya. Dan ia memilih untuk menggugurkan daun-daunnya di kemarau yang panjang. Ia memilih
untuk melepaskan semua harapan yang telah ia tanam selama lima tahun ini.
Satu tahun, dua tahun, ia tetap bertahan pada kekeringan
yang menerpanya. Ia tak mau lagi menumbuhkan kembali benih yang sama seperti
tujuh tahun lalu. Ia tak mau lagi terjebak dalam kemelutnya harapan yang hanya
mampu memberikan luka. Ia menjalani hidupnya bersama angin yang tak akan pergi
darinya.
Hingga tiba di penghujung tahun ke delapan, saat kau kembali menghampiri pohon
itu. Kau belai ia, Kau sirami ia dengan harapan-harapan baru, hingga tumbuh
kembali benih yang pernah kau tanam. Kali ini ia gembira menyambut
kedatanganmu. Namun kegembiraan itu hanya sekejap. Kau mempermainkannya.
Setelah kau kembali dan memberikan harapan padanya, kau pergi tanpa kata yang
membekas. Tanpa ucapan selamat tinggal. Kali ini lebih menyakitkan. Mengapa kau
kembali jika hanya untuk pergi?
Hanna
J
Sirahan, 03 Agustus 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar