Senin, 03 Agustus 2015

Benih yang Kau Tanam





Terkadang mimpi dapat menjadi sebuah pertanda yang terjadi dalam kehidupan nyata. Seperti saat kau kembali memeluk rasaku yang tengah rapuh. Semua itu terlukis dalam bunga tidurku. Debarnya pun terasa begitu nyata. Saat kau berdiri di belakangku dan membisikkan sesuatu tepat di telingaku. Aku tak mampu berkata, yang dapat kurasa hanya debar jantungku yang kian tak beraturan. Saat mataku terbuka pun, debar itu masih melekat dalam tubuhku. Rasanya seperti nyata bahwa kau benar-benar ada denganku. Namun, mimpi itu memang menggambarkan kenyataan yang tengah kujalani. Kau kembali menghiasi hariku. Mendatangkan kembali rasa yang telah lama kucoba tuk musnahkan. Harapan pun tersirat tanpa bisa kucegah, bersama waktu yang kian mengalir. Kali ini aku percaya pada harapan itu, aku tak akan terluka untuk kedua kalinya. Aku begitu yakin dengan harapanku.

Hingga suatu hari aku bermimpi bahwa kau telah jenuh menungguku, hingga kau pergi begitu saja tanpa meninggalkan kata-kata perpisahan untukku. Aku tersentak dalam tidurku. Kusadari pipiku telah basah oleh airmata. Aku mencoba untuk meyakinkan diriku bahwa itu hayalah mimpi. Mimpi yang tak berarti apapun. Namun aku salah. Setelah mimpi itu muncul dalam tidurku, tak kudengar lagi kabar darimu. Kau pun menghilang. Seperti tiga tahun yang lalu. Kau pergi dengan membawa kebahagiaanku. Kau pergi dengan meninggalkan luka pada diriku. Kau pergi tanpa sebab dan alasan yang jelas.
Luka ini mengingatkanku pada awal benih rasa yang kutanamkan padamu tumbuh. Ya, delapan tahun yang lalu. Semakin hari, benih itu semakin tumbuh besar. Menciptakan akar yang kuat, dan tumbuh semakin besar meski luka yang selalu kau siramkan padanya. Bertahun-tahun  ia tetap bertahan, meski kau tak mengalihkan pandanganmu padanya. Ia tetap tegar dan tumbuh. Ia percaya bahwa harapan yang ia tanam akan menjadi nyata. Ia percaya.
Lima tahun pohon itu tetap berdiri. Ia tengah lelah menunggu. Keputusasaan telah menggoyahkannya. Dan ia memilih untuk menggugurkan daun-daunnya di kemarau yang panjang. Ia memilih untuk melepaskan semua harapan yang telah ia tanam selama lima tahun ini.
Satu tahun, dua tahun, ia tetap bertahan pada kekeringan yang menerpanya. Ia tak mau lagi menumbuhkan kembali benih yang sama seperti tujuh tahun lalu. Ia tak mau lagi terjebak dalam kemelutnya harapan yang hanya mampu memberikan luka. Ia menjalani hidupnya bersama angin yang tak akan pergi darinya.
Hingga tiba di penghujung tahun ke delapan, saat kau kembali menghampiri pohon itu. Kau belai ia, Kau sirami ia dengan harapan-harapan baru, hingga tumbuh kembali benih yang pernah kau tanam. Kali ini ia gembira menyambut kedatanganmu. Namun kegembiraan itu hanya sekejap. Kau mempermainkannya. Setelah kau kembali dan memberikan harapan padanya, kau pergi tanpa kata yang membekas. Tanpa ucapan selamat tinggal. Kali ini lebih menyakitkan. Mengapa kau kembali jika hanya untuk pergi?

Hanna J

Sirahan, 03 Agustus 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar