Bukankah kata rumah diperuntukkan bagi tempat yang
menyimpan kenyamanan di dalamnya, menyuguhkan kehangatan di setiap sudutnya,
juga menjadi tempat untuk kembali? Apabila tinggal di suatu tempat, namun
keberadaan kita tak pernah dihargai, tak dianggap, apakah pantas tempat itu
disebut rumah? Apakah rumah berarti selalu memberikan kesedihan, rasa tertekan
dan menyibakkan kata putus asa pada kehidupan? Bukankah itu lebih layak disebut
dengan neraka? Setidaknya itulah yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah
mampir dalam kehidupanku. Aku sendiri tak mengerti dengan jelas, apa itu rumah?
Bagaimana rasa nyaman yang ada didalamnya? Dan apakah kehangatan itu nyata? Dan
tempat kembali? Ah, aku rasa aku telah kehilangan tempat asalku. Rumahku
bukanlah rumah. Tanpa kehangatan, tanpa kenyamanan, hanya ada kesengsaraan,
keputusasaan, dan kesedihan yang tak kunjung hilang.
Rumahku, atau mungkin aku harus menyebutnya tempat
singgah. Ya, tempat singgahku ini berpelukkan oleh warna hitam yang menjalar
pada setiap dindingnya. Menutupi setiap cahaya yang mencoba untuk meleburkan
kegelapan yang ada didalamya. Barang setitikpun tak kutemukan celah dari
pekatnya. Di setiap sudut tercium bau keputusasaan yang menohok penciumanku.
Kehampaan, kesunyian, nyanyian sumbang dari keterpurukan, semua itu membuatku
semakin terjatuh dalam gelapnya. Setiap cahaya yang kubawa dari dunia luar, selalu
hangus oleh ketidakberdayaan melawan kuatnya rasa putus asa. Aku tak habis
fikir, aku mampu bertahan menjejakkan kaki dalam lantainya yang selalu menyerap
semangatku. Dalam pijakan-pijakannya selalu kudengar rayuan bimbang yang
membawaku dalam titik hitam menuju jurang yang lebih pekat.
“Dari mana saja kau?” Telingaku menangkap nada pembuka
dari suara yang kukenal. Terselip amarah dalam sajak yang menghantar.
“Bukan urusanmu!” Suara itu terdengar ketus.
“Kau pergi dengan wanita itu lagi?” Kali ini bukan nada
amarah, melainkan kekecewaan.
“Sudah kubilang bukan urusanmu!” Teriakannya menghantam
vas kaca yang tak jauh darinya berdiri hingga terbelah menjadi serpihan -
serpihan tajam.
Lirih namun begitu jelas, nyanyian sumbang itu terdengar.
“Ck, bisamu hanya menangis saja! Harusnya aku sudah
menceraikanmu sejak dulu. Sejak kutahu bahwa kau berselingkuh dan melahirkan
anak dari lelaki Jahannam itu!” Amarahnya mulai memuncak. Beberapa lama kemudian
tak kudengar lagi suara berat lelaki yang menabur kepedihan.
Nyanyian sumbang itu masih mengalun. Semakin lama semakin
menyayat. Menuntun jejakku tuk menghampiri asal nada itu. Hatiku terasa pedih
menyaksikan seorang wanita yang bernyanyi pilu meratapi nasib yang tak kunjung
membaik. “Ibu...” Suaraku gemetar.
Ia menoleh. Wajahnya penuh gores luka dengan derai
airmata yang membuat hatiku semakin menciut.
“Ibu tak apa-apa?” Aku menyentuh pundaknya lembut.
“Pergi.” Satu kata yang keluar dari bibirnya yang
bergetar.
“Tapi...”
“Aku bilang pergi!” Tubuhku terjatuh oleh amarah yang
diluapkannya. Pecahan vas yang tercecer di lantai, menangkap tubuhku yang
terkulai tak berdaya. Mengalirkan cairan merah yang semakin membuatku terasa
pedih. “Semua ini gara-gara kau! Kalau kau tak ada, semua tak akan jadi seperti
ini! Anak pembawa sial!”
Aku menggigit bibirku. Berusaha menahan airmata yang
terus saja mendesak keluar. Tenggorokanku tercekat oleh rasa sakit yang
tertahan. Mengapa kata-katanya begitu tajam? Walau kata itu tak asing lagi dalam
pendengaranku, namun sakitnya begitu kuat menyayat jiwaku.
“Keberadaanmu tak pernah diharapkan di rumah ini. Harusnya
kau ikut dengan Ayahmu di neraka. Harusnya kau tak berada disini. Harusnya
kau... Kau...” Kata-katanya terhenti oleh isak tangis yang ditahannya.
“Ibu...”
“Jangan panggil aku Ibu! Aku bukan Ibumu!” Tangisannya
membuncah menjelma amarah dan rasa benci yang ia hantarkan padaku lewat
tatapannya. Tatapan yang sering kali kutemui dalam setiap sudut tempat yang aku
singgahi.
Namun, entah apa hanya khayalanku atau harapanku yang
terlalu tinggi. Setiap kutatap matanya yang sembap oleh airmata, ada satu titik
yang membuat diriku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasa sebelumnya. Dibalik
wajah sayunya yang tertutup oleh garis-garis yang semakin merapat, terselip
suatu kenyamanan untukku hingga ku tak mampu tuk berpaling menatap wajahnya.
Kebencian yang selalu ia utarakan padaku, tak juga membuatku untuk menjauhkan
langkah darinya. Tangannya yang nampak lemah, aku ingin menggenggamnya erat.
Tubuhnya yang semakin ringkih, aku ingin memeluknya. Bibirnya yang selalu
bergetar, aku ingin dia mengucapkan bahwa dia menyayangiku.
Sekarang aku tahu, apa yang membuatku bertahan menetapkan
jejak pada tempat ini. Tempat yang aku sebut neraka. Wanita yang sedang
menangis dihadapanku ini, telah membuka kebenaran yang selama ini aku cari.
Wanita yang juga kupanggil Ibu ini, telah mengajarkanku untuk bertahan dalam
dunia yang penuh dengan kegelapan. Dibalik hinaan-hinaan yang ia lontarkan
padaku, aku yakin disana terselip cinta yang begitu besar yang belum terkuak
keberadaannya. Wanita ini telah menjadi alasan untukku tuk tetap singgah, karena
dia adalah rumahku. Dia adalah tempatku untuk kembali dimanapun aku berada. Dan
suatu saat nanti aku akan membuat ia menyadarinya.
Hanna J
Pati,
12 Juli 2015

Tidak ada komentar:
Posting Komentar