Minggu, 12 Juli 2015

Tempat untuk Kembali




Bukankah kata rumah diperuntukkan bagi tempat yang menyimpan kenyamanan di dalamnya, menyuguhkan kehangatan di setiap sudutnya, juga menjadi tempat untuk kembali? Apabila tinggal di suatu tempat, namun keberadaan kita tak pernah dihargai, tak dianggap, apakah pantas tempat itu disebut rumah? Apakah rumah berarti selalu memberikan kesedihan, rasa tertekan dan menyibakkan kata putus asa pada kehidupan? Bukankah itu lebih layak disebut dengan neraka? Setidaknya itulah yang dikatakan oleh orang-orang yang pernah mampir dalam kehidupanku. Aku sendiri tak mengerti dengan jelas, apa itu rumah? Bagaimana rasa nyaman yang ada didalamnya? Dan apakah kehangatan itu nyata? Dan tempat kembali? Ah, aku rasa aku telah kehilangan tempat asalku. Rumahku bukanlah rumah. Tanpa kehangatan, tanpa kenyamanan, hanya ada kesengsaraan, keputusasaan, dan kesedihan yang tak kunjung hilang.

Rumahku, atau mungkin aku harus menyebutnya tempat singgah. Ya, tempat singgahku ini berpelukkan oleh warna hitam yang menjalar pada setiap dindingnya. Menutupi setiap cahaya yang mencoba untuk meleburkan kegelapan yang ada didalamya. Barang setitikpun tak kutemukan celah dari pekatnya. Di setiap sudut tercium bau keputusasaan yang menohok penciumanku. Kehampaan, kesunyian, nyanyian sumbang dari keterpurukan, semua itu membuatku semakin terjatuh dalam gelapnya. Setiap cahaya yang kubawa dari dunia luar, selalu hangus oleh ketidakberdayaan melawan kuatnya rasa putus asa. Aku tak habis fikir, aku mampu bertahan menjejakkan kaki dalam lantainya yang selalu menyerap semangatku. Dalam pijakan-pijakannya selalu kudengar rayuan bimbang yang membawaku dalam titik hitam menuju jurang yang lebih pekat.
“Dari mana saja kau?” Telingaku menangkap nada pembuka dari suara yang kukenal. Terselip amarah dalam sajak yang menghantar.
“Bukan urusanmu!” Suara itu terdengar ketus.
“Kau pergi dengan wanita itu lagi?” Kali ini bukan nada amarah, melainkan kekecewaan.
“Sudah kubilang bukan urusanmu!” Teriakannya menghantam vas kaca yang tak jauh darinya berdiri hingga terbelah menjadi serpihan - serpihan tajam.
Lirih namun begitu jelas, nyanyian sumbang itu terdengar.
“Ck, bisamu hanya menangis saja! Harusnya aku sudah menceraikanmu sejak dulu. Sejak kutahu bahwa kau berselingkuh dan melahirkan anak dari lelaki Jahannam itu!” Amarahnya mulai memuncak. Beberapa lama kemudian tak kudengar lagi suara berat lelaki yang menabur kepedihan.
Nyanyian sumbang itu masih mengalun. Semakin lama semakin menyayat. Menuntun jejakku tuk menghampiri asal nada itu. Hatiku terasa pedih menyaksikan seorang wanita yang bernyanyi pilu meratapi nasib yang tak kunjung membaik. “Ibu...” Suaraku gemetar.
Ia menoleh. Wajahnya penuh gores luka dengan derai airmata yang membuat hatiku semakin menciut.
“Ibu tak apa-apa?” Aku menyentuh pundaknya lembut.
“Pergi.” Satu kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar.
“Tapi...”
“Aku bilang pergi!” Tubuhku terjatuh oleh amarah yang diluapkannya. Pecahan vas yang tercecer di lantai, menangkap tubuhku yang terkulai tak berdaya. Mengalirkan cairan merah yang semakin membuatku terasa pedih. “Semua ini gara-gara kau! Kalau kau tak ada, semua tak akan jadi seperti ini! Anak pembawa sial!”
Aku menggigit bibirku. Berusaha menahan airmata yang terus saja mendesak keluar. Tenggorokanku tercekat oleh rasa sakit yang tertahan. Mengapa kata-katanya begitu tajam? Walau kata itu tak asing lagi dalam pendengaranku, namun sakitnya begitu kuat menyayat jiwaku.
“Keberadaanmu tak pernah diharapkan di rumah ini. Harusnya kau ikut dengan Ayahmu di neraka. Harusnya kau tak berada disini. Harusnya kau... Kau...” Kata-katanya terhenti oleh isak tangis yang ditahannya.
“Ibu...”
“Jangan panggil aku Ibu! Aku bukan Ibumu!” Tangisannya membuncah menjelma amarah dan rasa benci yang ia hantarkan padaku lewat tatapannya. Tatapan yang sering kali kutemui dalam setiap sudut tempat yang aku singgahi.
Namun, entah apa hanya khayalanku atau harapanku yang terlalu tinggi. Setiap kutatap matanya yang sembap oleh airmata, ada satu titik yang membuat diriku merasakan sesuatu yang tak pernah kurasa sebelumnya. Dibalik wajah sayunya yang tertutup oleh garis-garis yang semakin merapat, terselip suatu kenyamanan untukku hingga ku tak mampu tuk berpaling menatap wajahnya. Kebencian yang selalu ia utarakan padaku, tak juga membuatku untuk menjauhkan langkah darinya. Tangannya yang nampak lemah, aku ingin menggenggamnya erat. Tubuhnya yang semakin ringkih, aku ingin memeluknya. Bibirnya yang selalu bergetar, aku ingin dia mengucapkan bahwa dia menyayangiku.
Sekarang aku tahu, apa yang membuatku bertahan menetapkan jejak pada tempat ini. Tempat yang aku sebut neraka. Wanita yang sedang menangis dihadapanku ini, telah membuka kebenaran yang selama ini aku cari. Wanita yang juga kupanggil Ibu ini, telah mengajarkanku untuk bertahan dalam dunia yang penuh dengan kegelapan. Dibalik hinaan-hinaan yang ia lontarkan padaku, aku yakin disana terselip cinta yang begitu besar yang belum terkuak keberadaannya. Wanita ini telah menjadi alasan untukku tuk tetap singgah, karena dia adalah rumahku. Dia adalah tempatku untuk kembali dimanapun aku berada. Dan suatu saat nanti aku akan membuat ia menyadarinya.

 
Hanna J
Pati, 12 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar